Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) baru saja dibuka. Lonceng persaingan terdengar
tanpa sekat negara. Semua bersaing di antara 10 negara, salah satunya
Indonesia. Harapan utama ialah ekonomi berdaya. Peluang, tantangan, dan risiko
juga terbuka sama. Negara yang unggullah yang perkasa. Namun, satu yang terlupa, bagaimana
nasib bahasa
kita?
Jauh sebelum MEA ada, tantangan bahasa Indonesia sudah sangat luar
biasa. Tertatih dan tertindih. Tersisih
dari mereka yang menganggap bahwa bahasa Indonesia itu sepele. Masih kuat dalam
ingatan kita, karena nilai rupiah terus melemah dan ekonomi tak bergairah, Permenaker Nomor 12 Tahun 2013 diubah. Tenaga kerja asing yang disyaratkan berbahasa Indonesia kini bebas
berbahasa negaranya. Semua kita pun pasrah.
Lagi-lagi saat ini.
Kehadiran MEA perlu disikapi. Khawatir akuisisi bahasa anak Indonesia
tercemari. Bukankah pemerolehan bahasa anak dimulai sejak dini? Saat mereka
tidak mengerti apa-apa, bahasa di sekitarnya justru kehilangan arah, tanpa
norma dan kaidah. Pada saat inilah bahasa Indonesia kehilangan generasi
pembela. Belajar dari yang salah.
Lihat saja di depan
mata. Kesenangan menggunakan bahasa asing dipajang di jalan-jalan. Seakan-akan
negara ini tidak memiliki bahasa sendiri. Lalu memakai kata asing untuk
melabeli. Di seputaran kota modern BSD, Tangerang Selatan, Banten, rambu jalan
lebih banyak menggunakan bahasa Inggris. Miris. Seakan-akan yang melewati jalan
itu hanya orang-orang asing, berdolar triliunan, yang datang untuk memakmurkan.
Nama pada pemarkah
jalan itu memang ditujukan untuk membantu dan memandu. Memudahkan mereka yang
berdolar itu mencari tahu. Namun, kalau sekadar itu, mereka bisa menggunakan
jasa pemandu. Tidak perlu sampai mengorbankan bahasa Indonesia.
Pun di layar televisi
dan di media massa. Bahasa kita dipergunakan tanpa aturan. Padahal, kesalahan
koma saja akan mengubah makna. Apalagi bila kata, frasa, klausa, kalimat, dan
logika salah, akan banyak juga pemerolehan bahasa yang salah kaprah.
Padahal, perlu
diingat, anak-anak balita Indonesia mengakuisisi bahasa dari interaksi di sekitarnya.
Belajar mulai kata sederhana lalu menjadi kalimat. Beranak pinak dalam lema dan
struktur yang kompleks. Namun, bagaimana kalau sekarang negara mengajarkan yang
salah? Membiarkan bahasa berserak dan tidak berani mengintervensi untuk
memperbaiki. Badan Bahasa yang memang diberi taji membenari, justru ikut
penakut. Semua luput. Anak-anak Indonesia justru lebih tertarik menggunakan
bahasa pungut. Celaka rasanya!
Saatnya bagi semua untuk
turut merunut. Menghilangkan gengsi untuk menggunakan bahasa sendiri. Mengelola
bahasa Indonesia jadi berdaya. Ya, bisa dengan banyak cara. Misalnya, menggali
kosakata bahasa Indonesia agar bisa mengimbangi gempuran kosakata luar negeri.
Bisa pula menerjemahkan atau memadankan sehingga istilah asing bercorak dalam
negeri. Lupakan kata selfie, lalu diganti dengan swafoto. Pun ganti kata bully
dengan kata rundung atau kata risak. Semakin KBBI digali, semakin banyak pula kata berdaya guna.
Terakhir, siapa pun akan
bangga bila ekonomi Indonesia berjaya, minimal memimpin pasar Asia Tenggara, tanpa
harus menjulang seperti ekonomi Amerika. Harapannya itu lebih perkasa di era
MEA. Disegani. Namun, sekali lagi prestasi ekonomi tidak harus membuat bahasa
sendiri menjadi mati. Tersisih dan tertindih. Sebaliknya, jadikan bahasa
Indonesia terakuisisi baik oleh generasi anak negeri. Bahasa menjadi lestari!