Sabtu, 06 Februari 2016

MEA dan Akuisisi Bahasa



Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) baru saja dibuka. Lonceng persaingan terdengar tanpa sekat negara. Semua bersaing di antara 10 negara, salah satunya Indonesia. Harapan utama ialah ekonomi berdaya. Peluang, tantangan, dan risiko juga terbuka sama. Negara yang unggullah yang perkasa. Namun, satu yang terlupa, bagaimana nasib bahasa kita?
Jauh sebelum MEA ada, tantangan bahasa Indonesia sudah sangat luar biasa. Tertatih dan tertindih. Tersisih dari mereka yang menganggap bahwa bahasa Indonesia itu sepele. Masih kuat dalam ingatan kita, karena nilai rupiah terus melemah dan ekonomi tak bergairah, Permenaker Nomor 12 Tahun 2013 diubah. Tenaga kerja asing yang disyaratkan berbahasa Indonesia kini bebas berbahasa negaranya. Semua kita pun pasrah.
                Lagi-lagi saat ini. Kehadiran MEA perlu disikapi. Khawatir akuisisi bahasa anak Indonesia tercemari. Bukankah pemerolehan bahasa anak dimulai sejak dini? Saat mereka tidak mengerti apa-apa, bahasa di sekitarnya justru kehilangan arah, tanpa norma dan kaidah. Pada saat inilah bahasa Indonesia kehilangan generasi pembela. Belajar dari yang salah.
                Lihat saja di depan mata. Kesenangan menggunakan bahasa asing dipajang di jalan-jalan. Seakan-akan negara ini tidak memiliki bahasa sendiri. Lalu memakai kata asing untuk melabeli. Di seputaran kota modern BSD, Tangerang Selatan, Banten, rambu jalan lebih banyak menggunakan bahasa Inggris. Miris. Seakan-akan yang melewati jalan itu hanya orang-orang asing, berdolar triliunan, yang datang untuk memakmurkan.
                Nama pada pemarkah jalan itu memang ditujukan untuk membantu dan memandu. Memudahkan mereka yang berdolar itu mencari tahu. Namun, kalau sekadar itu, mereka bisa menggunakan jasa pemandu. Tidak perlu sampai mengorbankan bahasa Indonesia.
                Pun di layar televisi dan di media massa. Bahasa kita dipergunakan tanpa aturan. Padahal, kesalahan koma saja akan mengubah makna. Apalagi bila kata, frasa, klausa, kalimat, dan logika salah, akan banyak juga pemerolehan bahasa yang salah kaprah.
                Padahal, perlu diingat, anak-anak balita Indonesia mengakuisisi bahasa dari interaksi di sekitarnya. Belajar mulai kata sederhana lalu menjadi kalimat. Beranak pinak dalam lema dan struktur yang kompleks. Namun, bagaimana kalau sekarang negara mengajarkan yang salah? Membiarkan bahasa berserak dan tidak berani mengintervensi untuk memperbaiki. Badan Bahasa yang memang diberi taji membenari, justru ikut penakut. Semua luput. Anak-anak Indonesia justru lebih tertarik menggunakan bahasa pungut. Celaka rasanya!
                Saatnya bagi semua untuk turut merunut. Menghilangkan gengsi untuk menggunakan bahasa sendiri. Mengelola bahasa Indonesia jadi berdaya. Ya, bisa dengan banyak cara. Misalnya, menggali kosakata bahasa Indonesia agar bisa mengimbangi gempuran kosakata luar negeri. Bisa pula menerjemahkan atau memadankan sehingga istilah asing bercorak dalam negeri. Lupakan kata selfie, lalu diganti dengan swafoto. Pun ganti kata bully dengan kata rundung atau kata risak. Semakin KBBI digali, semakin banyak pula kata berdaya guna.
                Terakhir, siapa pun akan bangga bila ekonomi Indonesia berjaya, minimal memimpin pasar Asia Tenggara, tanpa harus menjulang seperti ekonomi Amerika. Harapannya itu lebih perkasa di era MEA. Disegani. Namun, sekali lagi prestasi ekonomi tidak harus membuat bahasa sendiri menjadi mati. Tersisih dan tertindih. Sebaliknya, jadikan bahasa Indonesia terakuisisi baik oleh generasi anak negeri. Bahasa menjadi lestari!