Sabtu, 09 Januari 2016

Analogi Ganti Untung



Ketika banjir lumpur Lapindo perlahan-lahan menenggelamkan desa di Sidoarjo, ungkapan ganti untung mencuat. Tujuan ungkapan itu, antara lain, menenangkan dan mengobati hati warga. Wapres Jusuf Kalla termasuk yang memopulerkan ungkapan ganti untung itu (Media Indonesia Online, 1/12/2006). Tulisan ini tidak ingin berkomentar terlalu jauh tentang lumpur Lapindo. Namun, ungkapan ganti untung, seperti juga yang dilansir berita Lintas 5 TPI (3/4), masih menarik untuk dicermati. Apa sebenarnya maksud ungkapan ganti untung itu?
Dalam bahasa Indonesia memang dikenal beberapa turunan kata.
Dari kata yang berafiks, kata yang bergabung (frasa dan kata majemuk), hingga gabungan kata yang bermakna idiomatik. Kata yang mendapatkan imbuhan (afiks) akan bermakna seperti kata dasarnya, misalnya kata lumpur bila mendapat prefiks ber- akan bermakna 'mempunyai atau terkena lumpur'. Tidak akan susah untuk menebak arti kata yang dibentuk dengan afiks.
Sekarang bandingkan dengan kata yang bergabung, yang juga memang memiliki kecenderungan gampang untuk dibentuk. Kita bisa mengucapkan atau menuliskan kata gabung seperti meja tulis dan buku adik. Secara berurut pula gabungan itu bermakna 'meja yang digunakan untuk menulis' dan 'buku milik adik'. Begitu pula dengan gabungan kata lemari besi, satai ayam, dan anak ayam.
Penulis yakin akan gampang untuk menentukan makna tiap gabungan kata itu. Gabungan-gabungan kata yang dicontohkan itu bernama frasa.
Sebaliknya ganti rugi tidak berkonstruksi seperti contoh-contoh tersebut, tetapi bermakna idiomatik. Kita bisa membentuk kata gabungan, misalnya secara leksikal berasal dari unsur kata kotak dan unsur kata hitam sehingga menjadi kotak hitam. Gabungan tersebut bisa bermakna 'kotak berwarna hitam' seperti dalam Ia meletakkan kotak hitam. Pada kalimat lain,
Kotak hitam pesawat belum ditemukan, tidak lagi bermakna bahwa kotak yang dicari itu berwarna hitam, tetapi sudah bermakna idiomatik.
Dari sisi semantis, gabungan kata ganti untung menyiratkan makna bahwa warga yang terkena lumpur akan mendapat untung setelah penggantian dari pihak Lapindo. Penggantian itu diyakini akan diterima warga melebihi yang sepadan. Sebaliknya, ungkapan ganti rugi
berkesan bahwa warga tetap rugi walaupun sudah mendapatkan penggantian.
Sejatinya, gabungan kata ganti rugi harus diperlakukan tidak seperti frasa, tetapi sebagai idiom. Makna gabungan kata sebagai idiom memiliki keunikan makna, yang tidak dirunut dan tidak diramalkan dari unsur pembentuknya, tetapi bermakna hasil gabungan itu (Abdul Chaer, 1994).
Dengan demikian, ganti rugi tidak bermakna 'penggantian yang tidak sepadan' atau 'penggantian yang merugikan pihak lain', tetapi lebih beranalogi sebab, yakni penggantian dilakukan karena sebelumnya ada pihak yang dirugikan (misalnya, warga Sidoarjo yang terkena lumpur panas).
Tidak ada kesan negatif dari makna gabungan kata ganti rugi. Bila memang ada iktikad baik (dalam hal ini dari pihak Lapindo), bisa saja 'ganti rugi' menguntungkan warga. Artinya, Lapindo bisa mengganti kerugian warga melebihi nilai materiil yang 'hilang' terendam oleh lumpur.
Bandingkan dengan makna gabungan kata ganti untung yang beranalogi akibat. Walaupun memang terdengar bagus, penggantian itu sampai sekarang belum dirasakan warga. Ungkapan itu sekadar membentuk bayangan pikiran bagi warga korban Lapindo, bahwa warga akan mendapatkan penggantian yang tentu menguntungkan.
Lalu kapan makna ganti rugi bisa bermetamorfosis ke 'ganti untung'? Bila proses penggantian didahului tawar-menawar antara pemilik dan pembeli (baca dalam kasus ini: pemerintah) dilaksanakan atas suka sama suka dan mau sama mau, ganti untung rasanya menjadi relevan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar