Ketika banjir lumpur Lapindo perlahan-lahan
menenggelamkan desa di Sidoarjo, ungkapan ganti untung mencuat. Tujuan
ungkapan itu, antara lain, menenangkan dan mengobati hati warga. Wapres Jusuf
Kalla termasuk yang memopulerkan ungkapan ganti untung itu (Media
Indonesia Online, 1/12/2006). Tulisan ini tidak ingin berkomentar terlalu
jauh tentang lumpur Lapindo. Namun, ungkapan ganti untung, seperti juga
yang dilansir berita Lintas 5 TPI (3/4), masih menarik untuk dicermati.
Apa sebenarnya maksud ungkapan ganti untung itu?
Dalam bahasa Indonesia memang dikenal beberapa turunan
kata.
Dari kata yang berafiks, kata yang bergabung (frasa
dan kata majemuk), hingga gabungan kata yang bermakna idiomatik. Kata yang
mendapatkan imbuhan (afiks) akan bermakna seperti kata dasarnya, misalnya kata lumpur
bila mendapat prefiks ber- akan bermakna 'mempunyai atau terkena
lumpur'. Tidak akan susah untuk menebak arti kata yang dibentuk dengan afiks.
Sekarang bandingkan dengan kata yang bergabung, yang
juga memang memiliki kecenderungan gampang untuk dibentuk. Kita bisa
mengucapkan atau menuliskan kata gabung seperti meja tulis dan buku
adik. Secara berurut pula gabungan itu bermakna 'meja yang digunakan untuk
menulis' dan 'buku milik adik'. Begitu pula dengan gabungan kata lemari
besi, satai ayam, dan anak ayam.
Penulis yakin akan gampang untuk menentukan makna tiap
gabungan kata itu. Gabungan-gabungan kata yang dicontohkan itu bernama frasa.
Sebaliknya ganti rugi tidak berkonstruksi
seperti contoh-contoh tersebut, tetapi bermakna idiomatik. Kita bisa membentuk
kata gabungan, misalnya secara leksikal berasal dari unsur kata kotak
dan unsur kata hitam sehingga menjadi kotak hitam. Gabungan
tersebut bisa bermakna 'kotak berwarna hitam' seperti dalam Ia meletakkan kotak
hitam. Pada kalimat lain,
Kotak hitam pesawat belum ditemukan, tidak lagi bermakna bahwa kotak
yang dicari itu berwarna hitam, tetapi sudah bermakna idiomatik.
Dari sisi semantis, gabungan kata ganti untung
menyiratkan makna bahwa warga yang terkena lumpur akan mendapat untung setelah
penggantian dari pihak Lapindo. Penggantian itu diyakini akan diterima warga
melebihi yang sepadan. Sebaliknya, ungkapan ganti rugi
berkesan bahwa warga tetap rugi walaupun sudah
mendapatkan penggantian.
Sejatinya, gabungan kata ganti rugi harus
diperlakukan tidak seperti frasa, tetapi sebagai idiom. Makna gabungan kata
sebagai idiom memiliki keunikan makna, yang tidak dirunut dan tidak diramalkan
dari unsur pembentuknya, tetapi bermakna hasil gabungan itu (Abdul Chaer, 1994).
Dengan demikian, ganti rugi tidak bermakna
'penggantian yang tidak sepadan' atau 'penggantian yang merugikan pihak lain',
tetapi lebih beranalogi sebab, yakni penggantian dilakukan karena sebelumnya
ada pihak yang dirugikan (misalnya, warga Sidoarjo yang terkena lumpur panas).
Tidak ada kesan negatif dari makna gabungan kata ganti
rugi. Bila memang ada iktikad baik (dalam hal ini dari pihak Lapindo), bisa
saja 'ganti rugi' menguntungkan warga. Artinya, Lapindo bisa mengganti kerugian
warga melebihi nilai materiil yang 'hilang' terendam oleh lumpur.
Bandingkan dengan makna gabungan kata ganti untung
yang beranalogi akibat. Walaupun memang terdengar bagus, penggantian itu sampai
sekarang belum dirasakan warga. Ungkapan itu sekadar membentuk bayangan pikiran
bagi warga korban Lapindo, bahwa warga akan mendapatkan penggantian yang tentu
menguntungkan.
Lalu kapan makna ganti rugi bisa
bermetamorfosis ke 'ganti untung'? Bila proses penggantian didahului
tawar-menawar antara pemilik dan pembeli (baca dalam kasus ini: pemerintah)
dilaksanakan atas suka sama suka dan mau sama mau, ganti untung rasanya
menjadi relevan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar