Rabu, 01 Juni 2016

Dipolisikan




Satu tahun terakhir ini, surat kabar di Tanah Air kerap memuat kalimat-kalimat yang mencantumkan kata 'dipolisikan'. Bak virus ganas, kata itu pun menyebar dan mewabah dari satu media ke media lain. Lihat saja kalimat-kalimat berikut: 'Tembaki kucing dan diunggah ke Facebook, warga Sleman dipolisikan', 'Gelapkan mobil rental, warga Surabaya kembali dipolisikan', dan 'Karyawan koperasi dipolisikan'.

      Intensitas kemunculan kata 'dipolisikan' pun kian jamak, dianggap sudah lumrah, atau terkadang menjadi diksi yang sayang untuk dilewatkan. Seperti primadona, kata itu pun akan dipilih bila sudah menyangkut berita kriminal yang sedang ditangani polisi. Sebenarnya, gejala bahasa apa yang ada pada kata 'dipolisikan' itu?

      Bila dikaitkan dengan makna, kata 'dipolisikan' berarti suatu masalah atau kasus yang sudah dilaporkan kepada pihak polisi. Kalaupun belum rampung, paling tidak, kasus itu sedang menjadi domain kepolisian. Analogi inilah yang mendasari penulis lebih memilih kata itu, ketimbang berpanjang kata seperti kalimat 'Masalah itu sudah dilaporkan kepada polisi'. Sekarang tentu lebih singkat bila melihat kalimat 'Masalah itu sudah dipolisikan'.  

      Akan tetapi, munculnya kata 'dipolisikan' seperti itu mengganggu kaidah bahasa, terutama kaitannya dalam proses afiksasi bahasa Indonesia. Alasan penganalogian seperti di atas tidak serta-merta membuat pemakai bahasa kalap dalam menurun kata.
      Sekarang keluarkan kata 'polisi' dari 'dipolisikan'. Kata itu merupakan kata dasar yang berkelas nomina. Dalam lema Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata 'polisi' berarti (1) badan pemerintah yg bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yg melanggar undang-undang dsb); 2 anggota badan pemerintah (pegawai negara yg bertugas menjaga keamanan dsb). Bila mengacu pada arti kamus tersebut, pengimbuhan pada kata 'dipolisikan' terkesan aneh dan serampangan.
      Kemunculan kata 'dipolisikan' merupakan paradigmatik yang menyimpang: terjebak pada bentukan kata 'dirumahkan', 'dimejahijaukan, atau juga 'dipenjarakan'. Tentu saja berbeda. Kata dasar 'rumah', 'meja hijau', dan 'penjara' menunjukkan benda yang bermakna bangunan atau tempat. Tidak senapas dengan kata 'polisi' walaupun sama-sama berkelas kata nomina.
      Kata 'dirumahkan' berarti seseorang dicutikan atau diistirahatkan dari pekerjaan yang dijalaninya sehingga diyakini akan banyak tinggal di rumah. Begitu pula kata 'dimejahijaukan', yang berarti seseorang dibawa ke pengadilan karena tersangkut masalah tertentu. Adapun kata 'dipenjarakan', karena sudah divonis bersalah, seseorang akan ditahan di penjara.
      Kalau dicermati, penguraian kata 'dirumahkan', 'dimejahijaukan, atau juga 'dipenjarakan' di atas semuanya mengacu pada makna dasar, yakni bangunan. Sebaliknya, kata 'dipolisikan' melenceng dari makna leksikal kata dasarnya, yakni 'polisi'.   
      Untuk pengilustrasian yang berbeda, lihat pula kata 'dibangkucadangkan' atau 'dipetieskan'. Cerabutan dari imbuhan di-/-kan itu akan memunculkan kata dasar 'bangku cadang' dan 'peti es'. Lagi-lagi kedua bentukan majemuk itu mengacu tempat, yakni secara harfiah berati bangku untuk pemain cadangan dan mesin pendingin. Kedua sama-sama merujuk tempat, berwujud benda, dan lokasi. Kalaupun ada makna lain yang mewakili kata majemuk, yakni 'diistirahatkan' dan 'dibekukan', tetap saja kedua kata itu masih terkait dengan medan makna 'tempat'. 
      Secara morfologi, pembentukan kata yang diturunkan dari lema berkelas nomina memang sudah lumrah dilakukan. Hanya saja bentukan kata baru itu harus ajek dan berparadigmatik dengan bentukan kata sebelumnya yang berterima. Kemunculan kata 'dipolisikan' merupakan pembiaran yang menjauhkan dari normatif berbahasa. Bila tanpa kendali, bisa saja berikutnya akan muncul kata 'didosenkan', 'diibukan', atau 'diistrikan'.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar