Sabtu, 14 Mei 2016

Catut-catutan



Sadar atau tidak, catut-mencatut bukanlah hal asing. Hanya terkadang dianggap biasa karena ada di tengah kebiasaan. Sering pula diabaikan karena ketidaktahuan. Singkatnya, catut-mencatut pernah terjadi atau justru dialami oleh siapa pun: saya dan Anda!
                Karena sudah biasa pula, kata catut memiliki padanan dalam berbagai bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata catut dipadankan dengan kata angkup atau penjepit. Diberi arti, di antaranya, alat (untuk mencabut janggut dsb); alat untuk mencabut (memotong) paku dsb, ‘menyalahgunakan (kekuasaan, nama orang, jabatan, dsb) untuk mencari untung’. Dalam bahasa Sukuan (penyebutan suku di Sabah dan Sarawak), catut disebut dengan kata sepit ‘alat penjepit’. Sementara itu, dalam Kamus Inggris-Melayu Dewan, dikenal istilah kata racketeer, yang berarti ‘ahli kegiatan haram, tukang catut, pencatut’.
                Secara leksikal di atas, catut diberi referen sebagai alat; berupa tang atau ragum, yang digunakan untuk mencabut benda yang ‘tertanam’. Perbedaannya, alat yang disebut angkup biasanya digunakan untuk mencabut rambut (sering juga disebut bulu) yang menempel, seperti janggut atau bulu ketiak.  Adapun untuk alat yang disebut tang atau ragum biasanya digunakan untuk mencabut paku, sedangkan alat yang diebut sepit digunakan untuk menjepit (misalnya) pakaian. Alih-alih, ada juga menyebut benda yang sedang kita acu dengan nama kakaktua. Itu semata karena kemiripan dengan paruh burung kakaktua.
Dari arti-arti itulah, akhirnya kata catut mengalami pergeseran makna menjadi (1) mengambil barang/benda secara paksa/atau tidak sah: ia mencatut uang kantor, (2) menyalahgunakan (kekuasaan, nama orang, jabatan, dsb) untuk mencari untung.
Rupanya makna asosiasi kata catut pada nomor (1) dan (2) itulah yang menghiasi ruang media massa dalam dua minggu terakhir. Sontak kabar pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla oleh Setya Novanto menjadi sebab kata ini menjadi populer. Dikenal luas. Bahkan di mesin pencarian Google, kata catut langsung merujuk kepada Setya Novanto, baik kata maupun gambar.
Selain dalam kasus Novanto, pencatutan terjadi dalam ruang-ruang publik lain. Bisa diingat ketika kita berurusan dengan pihak kepolisian di tengah jalan: biasanya ketika ditilang karena melanggar rambu lalu lintas. Tak jarang kita menyebut nama-nama orang hebat untuk lolos dari penilangan tersebut. Yang paling santer pula, dengan membanggakan korps tertentu, kita memasang stiker di pelat kendaraan. Tentu tujuannya agar kita disegani, dimaklumi, dipermudah, atau diperlukan sebaik yang kita harapkan. Bahkan, walau setengah berbohong, banyak yang menyebut dia anak jenderal, keluarga DPR, atau dari institusi tertentu agar urusannya lancar.
Dalam ranah jual beli pun, pencatutan kerap terjadi. Untuk mendapatkan potongan harga di toko tertentu, kita menyebut toko besar (mungkin lebih dikenal) menjual barang lebih murah. Kalimat seperti ini ‘Kok, mahal! Di tokoh A tidak semahal ini!’ Begitu pun dalam proses negosiasi, sering kita dengar orang membawa-bawa nama pejabat, nama LSM, atau nama lembaga untuk memuluskan bisnisnya.
Akan tetapi, dalam konteks Novanto, tentu saja menjadi pencatutan yang tidak biasa karena yang mencatut dan yang dicatut orang-orang terkemuka: Ketua DPR dan Presiden-Wapres Republik Indonesia. Sungguh ini pencatutan yang luar biasa!

Sabtu, 07 Mei 2016

Esoteris Bahasa Hukum



Secara pribadi, saya merasakan bahasa hukum (di Indonesia) terlalu sulit dimengerti. Selain panjang, kalimat beranak-pinak. Tak jelas aturan bahasa dan logika. Sungguh melelahkan bila membacanya. Tentu saja itu memunculkan interprestasi dan debat makna. Padahal, produk hukum, seperti undang-undang yang berlaku, mengikat seluruh warga, termasuk saya dan mereka yang tidak mengerti bahasa hukum.
Untuk menemukan bahasa hukum yang salah, tentu tidak terlalu susah. Bisa ditemukan pada ejaan dan tanda baca, pemakaian bentuk jamak, pemakaian kata yang bersinonim, pengaruh unsur bahasa Inggris, serta pemakaian bahwa di depan subjek. Pun terjadi bentuk kata yang tidak sejajar, kalimat yang panjang, serta pemakaian frasa dalam hal dan kata maka.
Misalnya saja pada kalimat Bahwa Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut: (1) Bahwa Pihak Pertama merupakan perusahaan yang bergerak dibidang asuransi jiwa.
Contoh di atas sudah cukup membuat Anda susah, bukan? Kata bahwa, huruf kapital pada kata para pihak, struktur kalimat, dan tanda titik dua sudah menyalahi kaidah bahasa Indonesia. Belum lagi kata ganti –nya yang merujuk para pihak yang jamak.
Secara gramatikal, kata bahwa akan membendakan semua kata, termasuk kata kerja dan sifat. Fungsinya pun sangat jelas: hanya sebagai subjek atau objek, tidak pernah menjadi predikat. Dalam contoh Bahwa dia tidak bersalah//telah dibuktikan, subjek kalimat itu Bahwa dia tidak bersalah, sedangkan telah dibuktikan sebagai predikat. Kalimat ini pun berterima karena strukturnya terdiri atas subjek dan predikat. Sekarang bandingkan dengan contoh bahasa hukum di atas. Tidak jelas mana subjek dan mana predikat.
Contoh lain lagi, Barang siapa melanggar pasal… akan dihukum penjara selama… Dari konteks itu, siapa yang dihukum? Kenapa menggunakan frasa barang siapa? Mengapa tidak langsung saja Yang melanggar pasal … akan dihukum penjara selama…. Kata barang siapa dalam struktur itu akan menghilangkan subjek dan logika.
Sekarang kelasahan terjadi karena pengaruh bahasa Inggris. Dalam bahasa hukum marak ditemukan di mana dan yang mana. Kedua kata terjemahan itu berperilaku seperti halnya which dan where.
Terkadang pula saya menduga, karena persepsi bahasa, banyak orang kalah beperkara. Di sini peran sang pembela hukum menjadi utama. Mereka harus pandai merawat kata. Kalau tidak, pencari keadilan bisa celaka. Yah, akhirnya masuk penjara. Bukankah multiinterpretasi dapat memutar balik fakta. Yang kita dengar, masalah hukum biasa, mencuri ayam misalnya, terpenjara berlama-lama. Sebaliknya, koruptor yang mengeruk uang negara justru dihukum seadanya. Ah, sudahlah. Terlalu jauh merenungkannya. Pejabat MA juga bisa masuk penjara, yang notabene mengerti bahasa dan persepsinya.