Sadar atau
tidak, catut-mencatut bukanlah hal asing. Hanya terkadang dianggap biasa karena
ada di tengah kebiasaan. Sering pula diabaikan karena ketidaktahuan.
Singkatnya, catut-mencatut pernah terjadi atau justru dialami oleh siapa pun:
saya dan Anda!
Karena sudah biasa pula, kata
catut memiliki padanan dalam berbagai bahasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata catut dipadankan dengan kata angkup
atau penjepit. Diberi arti, di
antaranya, ‘alat (untuk mencabut
janggut dsb); alat untuk mencabut (memotong) paku dsb, ‘menyalahgunakan
(kekuasaan, nama orang, jabatan, dsb) untuk mencari untung’. Dalam
bahasa Sukuan (penyebutan suku di Sabah dan Sarawak), catut disebut dengan kata
sepit ‘alat penjepit’. Sementara itu,
dalam Kamus Inggris-Melayu Dewan,
dikenal istilah kata racketeer, yang
berarti ‘ahli kegiatan haram, tukang catut,
pencatut’.
Secara leksikal di atas, catut
diberi referen sebagai alat; berupa tang atau ragum, yang digunakan untuk
mencabut benda yang ‘tertanam’. Perbedaannya, alat yang disebut angkup biasanya digunakan untuk mencabut
rambut (sering juga disebut bulu) yang menempel, seperti janggut atau bulu
ketiak. Adapun untuk alat yang disebut tang atau ragum biasanya digunakan untuk mencabut paku, sedangkan alat yang
diebut sepit digunakan untuk menjepit
(misalnya) pakaian. Alih-alih, ada juga menyebut benda yang sedang kita acu
dengan nama kakaktua. Itu semata karena kemiripan dengan paruh burung kakaktua.
Dari arti-arti itulah, akhirnya kata catut mengalami pergeseran
makna menjadi (1) mengambil barang/benda secara paksa/atau tidak sah: ia mencatut uang kantor, (2)
menyalahgunakan (kekuasaan, nama orang, jabatan, dsb) untuk mencari untung.
Rupanya makna asosiasi kata catut pada nomor (1) dan (2) itulah yang
menghiasi ruang media massa dalam dua minggu terakhir. Sontak kabar pencatutan
nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla oleh Setya Novanto menjadi
sebab kata ini menjadi populer. Dikenal luas. Bahkan di mesin pencarian Google, kata catut langsung merujuk kepada Setya Novanto, baik kata maupun
gambar.
Selain dalam kasus Novanto, pencatutan terjadi dalam ruang-ruang
publik lain. Bisa diingat ketika kita berurusan dengan pihak kepolisian di
tengah jalan: biasanya ketika ditilang karena melanggar rambu lalu lintas. Tak
jarang kita menyebut nama-nama orang hebat untuk lolos dari penilangan
tersebut. Yang paling santer pula, dengan membanggakan korps tertentu, kita
memasang stiker di pelat kendaraan. Tentu tujuannya agar kita disegani,
dimaklumi, dipermudah, atau diperlukan sebaik yang kita harapkan. Bahkan, walau
setengah berbohong, banyak yang menyebut dia anak jenderal, keluarga DPR, atau
dari institusi tertentu agar urusannya lancar.
Dalam ranah jual beli pun, pencatutan kerap terjadi. Untuk
mendapatkan potongan harga di toko tertentu, kita menyebut toko besar (mungkin
lebih dikenal) menjual barang lebih murah. Kalimat seperti ini ‘Kok, mahal! Di tokoh A tidak semahal ini!’
Begitu pun dalam proses negosiasi, sering kita dengar orang membawa-bawa nama
pejabat, nama LSM, atau nama lembaga untuk memuluskan bisnisnya.
Akan tetapi, dalam konteks Novanto, tentu saja menjadi pencatutan
yang tidak biasa karena yang mencatut dan yang dicatut orang-orang terkemuka:
Ketua DPR dan Presiden-Wapres Republik Indonesia. Sungguh ini pencatutan yang luar
biasa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar