Sabtu, 07 Mei 2016

Esoteris Bahasa Hukum



Secara pribadi, saya merasakan bahasa hukum (di Indonesia) terlalu sulit dimengerti. Selain panjang, kalimat beranak-pinak. Tak jelas aturan bahasa dan logika. Sungguh melelahkan bila membacanya. Tentu saja itu memunculkan interprestasi dan debat makna. Padahal, produk hukum, seperti undang-undang yang berlaku, mengikat seluruh warga, termasuk saya dan mereka yang tidak mengerti bahasa hukum.
Untuk menemukan bahasa hukum yang salah, tentu tidak terlalu susah. Bisa ditemukan pada ejaan dan tanda baca, pemakaian bentuk jamak, pemakaian kata yang bersinonim, pengaruh unsur bahasa Inggris, serta pemakaian bahwa di depan subjek. Pun terjadi bentuk kata yang tidak sejajar, kalimat yang panjang, serta pemakaian frasa dalam hal dan kata maka.
Misalnya saja pada kalimat Bahwa Para Pihak masing-masing dalam kedudukannya sebagaimana tersebut di atas terlebih dahulu menerangkan hal-hal sebagai berikut: (1) Bahwa Pihak Pertama merupakan perusahaan yang bergerak dibidang asuransi jiwa.
Contoh di atas sudah cukup membuat Anda susah, bukan? Kata bahwa, huruf kapital pada kata para pihak, struktur kalimat, dan tanda titik dua sudah menyalahi kaidah bahasa Indonesia. Belum lagi kata ganti –nya yang merujuk para pihak yang jamak.
Secara gramatikal, kata bahwa akan membendakan semua kata, termasuk kata kerja dan sifat. Fungsinya pun sangat jelas: hanya sebagai subjek atau objek, tidak pernah menjadi predikat. Dalam contoh Bahwa dia tidak bersalah//telah dibuktikan, subjek kalimat itu Bahwa dia tidak bersalah, sedangkan telah dibuktikan sebagai predikat. Kalimat ini pun berterima karena strukturnya terdiri atas subjek dan predikat. Sekarang bandingkan dengan contoh bahasa hukum di atas. Tidak jelas mana subjek dan mana predikat.
Contoh lain lagi, Barang siapa melanggar pasal… akan dihukum penjara selama… Dari konteks itu, siapa yang dihukum? Kenapa menggunakan frasa barang siapa? Mengapa tidak langsung saja Yang melanggar pasal … akan dihukum penjara selama…. Kata barang siapa dalam struktur itu akan menghilangkan subjek dan logika.
Sekarang kelasahan terjadi karena pengaruh bahasa Inggris. Dalam bahasa hukum marak ditemukan di mana dan yang mana. Kedua kata terjemahan itu berperilaku seperti halnya which dan where.
Terkadang pula saya menduga, karena persepsi bahasa, banyak orang kalah beperkara. Di sini peran sang pembela hukum menjadi utama. Mereka harus pandai merawat kata. Kalau tidak, pencari keadilan bisa celaka. Yah, akhirnya masuk penjara. Bukankah multiinterpretasi dapat memutar balik fakta. Yang kita dengar, masalah hukum biasa, mencuri ayam misalnya, terpenjara berlama-lama. Sebaliknya, koruptor yang mengeruk uang negara justru dihukum seadanya. Ah, sudahlah. Terlalu jauh merenungkannya. Pejabat MA juga bisa masuk penjara, yang notabene mengerti bahasa dan persepsinya.

2 komentar:

  1. Saya setuju dengan tulisan pak suprianto karena saya pun merasakan sebagai remaja yang awam terhadap hukum dan tidak mengerti serta memahami undang undang sebagai aturan di negeri ini yang seharusnya aturan dibuat mudah dimengerti dan dipahami agar masyarakat dapat menjalankan aturan ini dengan baik. Tapi dibuat dengan bahasa (dewa) yang berbelit-belit sehingga bagi orang yang tak mengerti hukum seperti saya ini sulit untuk memahami maksud dari aturan yang sudah susah payah dibuat oleh lembaga hukum.

    Saya setuju dengan penulis tentang penjahat yang kesalahannya kecil dapat dihukum berat dan seorang koruptor yang mengeruk harta negara dapat lolos dengan senyuman bahagia. Menurut saya hal ini terjadi karena pembela hukum koruptor dapat mengutak-atikan pengadilan dengan memanfaatkan multipersepsi dari bahasa hukum.

    Harapan saya sebaiknya pemerintah membuat aturan hukum dengan bahasa Indonesia yang baik, benar dan lebih sederhana sehingga mudah dipahami oleh semua kalangan masyarakat Indonesia. Agar kami sebagai masyarakat Indonesia mau mempelajari hukum dan menaati aturan hukum di negeri ini.

    BalasHapus
  2. Saya sangat setuju,dengan melakukan “permainan kata” meraka dapat mudah dengan memanipulasi data dan fakta. Seperti kata pepatah “The Pen is Mightier Than The Sword” atau pulpen itu lebih tajam daripada pedang. Terkadang kata-kata dapat lebih berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Dengan memakai kata-kata dengan penempatan dan waktu yang tepat, kita dapat merubah hidup seseorang.
    Dengan memakai kata yang sulit mereka berharap dapat memperdaya kita sebagai masyarakat yang pada umumnya masih kurang dalam wawasan berbahasa Indonesia yang benar. baik oleh kurangnya membaca literasi sebagai bahan referensi atau memang keterbatasan ekonomi sehingga membuat kurangnya Pendidikan baik formal maupun informal.
    Dan ya… hukum di Indonesia memang masih kurang dalam segala aspek. Kita sebagai rakyat hanya bisa berdoa kepada Tuhan yang Mahakuasa agar negara ini cepat pulih baik dalam bidang hukum maupun bidang lainnya.

    BalasHapus