Bahasa itu
terkait erat dengan berpikir. Apa yang dipikirkan akan dipadupadankan dengan
bahasa. Realisasinya berupa kata atau ujaran. Kata yang mewakili konsep itu
sering tersamarkan. Sering pula berupa konsep dan pengibaratan. Lawan bicara
atau pendengar pun dibuat keteteran. Dalam konteks kekinian, lagi-lagi antara
konsep dan makna kadang tak sejalan.
Sebagai
contoh, lihatlah gabungan kata ‘atlet papan atas’. Semerbak frasa itu meluncur
di tatkala Owi/Butet meraih medali emas. Media massa, warga, bahkan Indonesia
menyanjung prestasi itu setinggi-tingginya. Pasangan itu pun dinobatkan sebagai
kelompok ‘atlet papan atas’.
Pengibaratan
dengan kata papan atas setara dengan makna unggulan, elite, dan ketenaran. Atlet
seperti ini tentu saja penuh prestasi yang membanggakan. Bergelimang medali dan
sanjungan. Tentu saja seperti Owi/Butet yang baru saja meraih emas diarak bak
pahlawan.
Akan
tetapi, bagaimana kerasionalan ungkapan papan atas? Bila dirunut ke masa 90-an,
pengibaratan dengan kata papan atas marak dilekatkan pada kata artis dan aktor.
Tentu saja di masa itu sering terdengar artis atau aktor papan atas. Faktanya
memang kelompok artis seperti ini posternya dipajang di papan iklan di bagian
atas. Karena hal itu pula, poster artis dan aktor yang di papan atas
disepadankan dengan artis terkenal, termahal, dan terpopuler.
Dalam
kekinian, tentu saja peletakan poster seperti itu tidaklah sepadan. Pasti pula
tidak bermedia papan. Akan tetapi, pemasangan poster sudah dilayar
serbagemerlapan: LCD atau LED. Yang ada sekarang berada era kecanggihan.
Sayangnya, ungkapan tidak pernah terbarukan. Tetap saja memakai kata atlet
papan atas atau artis papan atas.
Selain
itu, ungkapan kata berkantong tebal dan rekening gendut juga menjadi pengibaratan
yang tidak relevan. Lagi-lagi ini
terjadi karena kemajuan zaman. Dulunya, orang yang berkantong tebal selalu
mewakili strata sosial yang berkelimpahan harga, kaya raya, borjuis, priyayi,
atau ninggrat. Biasanya pula kelompok beruang ini menjadi rebutan, dibanggakan,
dan diimpi-impikan. Mereka tampil dengan kantong celana belakang yang kencang
berisi uang.
Lagi-lagi
rasionalisasi berkantong tebal sekarang terbantahkan. Orang yang berharga,
banyak uang, dan kalangan elite tidak lagi diwakili oleh kantong tebal. Justru
mereka berkantong tipis walau tetap saja elitis dan borjuis. Dengan selempeng
kartu ATM, mereka bisa mengatongi bertriliun-triliun uang. Pun dengan secarik
kertas, mereka bisa saja sedang menggenggam limpahan kekayaan.
Sama
pula halnya rekening gendut. Persepsi gendut selalu mewakili dengan jumlah
berlebih, berlimpah, dan sesak penuh. Rekening yang banyak menampung uang hasil
korupsi diwakili oleh ungkan seperti ini. Padahal, nyata-nyata tidak pernah
terlihat penambahan berat dan ukuran.
Paparan
di atas menunjukkan pengungkapan yang tidak relevan. Sulit dibuktikan dan tentu
keluar dari konsep yang dipikirkan.
Generasi yang terlahir kemudian tentu mempertanyakan antara kata dan
pengertian, antara konsep dan pembuktian.
Padahal, bahasa itu harus
disampaikan dan ajarkan. Ungkapan seperti papan atas, berkantong tebal, dan
rekening gendut tentu saja tidak mudah disematkan dalam pelajaran. Selain
memicu kebingungan, tentu saja sudah
tidak sepadan. Oleh karena itu, ungkapan juga harus disesuaikan dengan
perkembangan zaman. Bernilai dan relevan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar