Jumat, 30 September 2016

Atlet Papan Atas



Bahasa itu terkait erat dengan berpikir. Apa yang dipikirkan akan dipadupadankan dengan bahasa. Realisasinya berupa kata atau ujaran. Kata yang mewakili konsep itu sering tersamarkan. Sering pula berupa konsep dan pengibaratan. Lawan bicara atau pendengar pun dibuat keteteran. Dalam konteks kekinian, lagi-lagi antara konsep dan makna kadang tak sejalan.
Sebagai contoh, lihatlah gabungan kata ‘atlet papan atas’. Semerbak frasa itu meluncur di tatkala Owi/Butet meraih medali emas. Media massa, warga, bahkan Indonesia menyanjung prestasi itu setinggi-tingginya. Pasangan itu pun dinobatkan sebagai kelompok ‘atlet papan atas’.
                Pengibaratan dengan kata papan atas setara dengan makna unggulan, elite, dan ketenaran. Atlet seperti ini tentu saja penuh prestasi yang membanggakan. Bergelimang medali dan sanjungan. Tentu saja seperti Owi/Butet yang baru saja meraih emas diarak bak pahlawan.
                Akan tetapi, bagaimana kerasionalan ungkapan papan atas? Bila dirunut ke masa 90-an, pengibaratan dengan kata papan atas marak dilekatkan pada kata artis dan aktor. Tentu saja di masa itu sering terdengar artis atau aktor papan atas. Faktanya memang kelompok artis seperti ini posternya dipajang di papan iklan di bagian atas. Karena hal itu pula, poster artis dan aktor yang di papan atas disepadankan dengan artis terkenal, termahal, dan terpopuler.
                Dalam kekinian, tentu saja peletakan poster seperti itu tidaklah sepadan. Pasti pula tidak bermedia papan. Akan tetapi, pemasangan poster sudah dilayar serbagemerlapan: LCD atau LED. Yang ada sekarang berada era kecanggihan. Sayangnya, ungkapan tidak pernah terbarukan. Tetap saja memakai kata atlet papan atas atau artis papan atas. 
                Selain itu, ungkapan kata berkantong tebal dan rekening gendut juga menjadi pengibaratan yang tidak relevan.  Lagi-lagi ini terjadi karena kemajuan zaman. Dulunya, orang yang berkantong tebal selalu mewakili strata sosial yang berkelimpahan harga, kaya raya, borjuis, priyayi, atau ninggrat. Biasanya pula kelompok beruang ini menjadi rebutan, dibanggakan, dan diimpi-impikan. Mereka tampil dengan kantong celana belakang yang kencang berisi uang.
                Lagi-lagi rasionalisasi berkantong tebal sekarang terbantahkan. Orang yang berharga, banyak uang, dan kalangan elite tidak lagi diwakili oleh kantong tebal. Justru mereka berkantong tipis walau tetap saja elitis dan borjuis. Dengan selempeng kartu ATM, mereka bisa mengatongi bertriliun-triliun uang. Pun dengan secarik kertas, mereka bisa saja sedang menggenggam limpahan kekayaan.
                Sama pula halnya rekening gendut. Persepsi gendut selalu mewakili dengan jumlah berlebih, berlimpah, dan sesak penuh. Rekening yang banyak menampung uang hasil korupsi diwakili oleh ungkan seperti ini. Padahal, nyata-nyata tidak pernah terlihat penambahan berat dan ukuran.
                Paparan di atas menunjukkan pengungkapan yang tidak relevan. Sulit dibuktikan dan tentu keluar dari konsep yang dipikirkan.  Generasi yang terlahir kemudian tentu mempertanyakan antara kata dan pengertian, antara konsep dan pembuktian.
Padahal, bahasa itu harus disampaikan dan ajarkan. Ungkapan seperti papan atas, berkantong tebal, dan rekening gendut tentu saja tidak mudah disematkan dalam pelajaran. Selain memicu kebingungan,  tentu saja sudah tidak sepadan. Oleh karena itu, ungkapan juga harus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Bernilai dan relevan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar