AGAK terlalu abstrak bila hanya membaca judul tulisan ini. Konstruksi tak lazim dalam urutan kata dikarenakan, di, dan pada tentu saja membingungkan. Dibolak-balik dan dibaca berkali-kali pun, judul itu tetap tanpa makna. Padahal, ketiga katanya biasa-biasa saja: sudah dikenal dan sering dieja.
Justru ulasan ini menyibak salah kaprah tentang
penggunaan ketiga kata yang biasa-biasa itu. Kata dikarenakan, yang
seolah diturunkan dari konjungsi karena, merupakan bentukan kata yang
salah dan keliru. Kata tugas itu sejatinya termasuk kata terikat yang tidak
dapat diberi imbuhan apa pun. Fungsinya pun hanya satu, yakni sebagai konjungsi
dalam kalimat bertingkat, yang maknanya menyatakan hubungan kausalitas.
Lalu kenapa kata itu diturunkan dan salah kaprah? Tentu
saja pemakai bahasa menyamakannya secara sintagmatik dengan kata sebab.
Secara gramatik kata sebab menjadi disebabkan, penyebab, menyebabkan,
tersebab, dan bersebab. Anggapan itulah yang akan memulai kesalahan.
Dalam hal kelas kata, kata sebab berciri nomina, sedangkan kata karena
berciri partikel.
Dalam turunan selanjutnya, nomina berciri bebas dan dapat
menjadi dasar pembentukan kata lain melalui imbuhan. Sebaliknya, partikel
ditetapkan sebagai kata terikat: tidak dapat diberikan imbuhan apa pun. Contoh
lain kata yang berciri terikat dapat ditemui pada kata anti- dan pasca-.
Dua kata ini, anti- dan pasca-, tidak dapat menerima imbuhan
sehingga menjadi kata *beranti, *dianti, atau *teranti.
Begitu juga tidak kita temui kata *berpasca, *dipasca, atau *terpasca.
Meski berbeda fungsi dengan kata karena, kata anti- dan pasca-
juga termasuk kata tidak bebas: hanya mengikuti kata penuh.
Kasus kedua, kesalahan penggunaan kata depan di
dan pada. Kekeliruan dalam struktur kalimat terlihat dalam konteks
berikut: (1) Di bulan Ramadan, kita meningkatan sikap toleransi kepada yang
menjalankan puasa, (2) Buanglah sampah pada tempatnya, dan (3) Di
saat fit and proper test di Komisi III, Tito menjawab semua pertanyaan dewan
dengan jelas dan lancar.
Ketiga kalimat itu sepintas tidak menyimpan masalah.
Semuanya itu pun bisa dimaknai pemakai bahasa. Akan tetapi, secara fungsi
preposisi, di harus menunjuk lokasi atau tempat (sehingga sering
dilabeli sebagai pemberi makna lokatif), sedangkan kata pada mengacu
waktu atau kondisi. Karena itu, kalimat-kalimat itu seharusnya bertukar (1) Pada
bulan Ramadan..., (2) Buanglah sampah di tempatnya (atau ke
tempatnya), dan (3) Pada saat fit and proper test....
Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi pada kata ke
dan kepada. Tertukarnya kedua kata itu, kepada menjadi ke,
sudah menjadi biasa ditemukan di dalam koran, majalah, dan media daring. Sebut
saja seperti dalam kalimat (1) Kasus Sumber Waras sudah dilimpahkan ke KPK,
(2) Laporan itu disampaikan ke Bareskrim Polri, dan (3) Agar
memberikan kepastian, BPK harus membuka
hasil audit tersebut ke publik.
Sekali lagi ketiga kalimat itu seakan berterima, tetapi
sebenarnya salah. Pada kalimat (1), seharusnya KPK tidak dipersepsi sebagai
tempat, tetapi lembaga penerima yang berciri persona. Secara analogi, kita
tidak bisa menerima kalimat Kue itu diberikan ke adik. Hal itu
semata-mata karena adik bukanlah tempat, melainkan persona. Begitu pun pada
kalimat (3), kata publik bukanlah tempat yang sebanding dengan lokasi
seperti kota, rumah, ataupun lembaga, melainkan tujuan atau sasaran.
Tertukarnya fungsi kata-kata di atas merupakan realitas
berbahasa pemakai bahasa Indonesia yang menggampangkan. Tanpa kesahihan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar