Jumat, 30 September 2016

Dikarenakan di dan Pada


AGAK terlalu abstrak bila hanya membaca judul tulisan ini. Konstruksi tak lazim dalam urutan kata dikarenakan, di, dan pada tentu saja membingungkan. Dibolak-balik dan dibaca berkali-kali pun, judul itu tetap tanpa makna. Padahal, ketiga katanya biasa-biasa saja: sudah dikenal dan sering dieja.
Justru ulasan ini menyibak salah kaprah tentang penggunaan ketiga kata yang biasa-biasa itu. Kata dikarenakan, yang seolah diturunkan dari konjungsi karena, merupakan bentukan kata yang salah dan keliru. Kata tugas itu sejati­nya termasuk kata terikat yang tidak dapat diberi imbuhan apa pun. Fungsinya pun hanya satu, yakni sebagai konjungsi dalam kalimat ber­tingkat, yang maknanya menyatakan hubungan kausalitas.
Lalu kenapa kata itu diturun­kan dan salah kaprah? Tentu saja pemakai bahasa menyama­kannya secara sintagmatik de­ngan kata sebab. Secara gramatik kata sebab menjadi disebabkan, penyebab, menyebabkan, tersebab, dan bersebab. Anggapan itulah yang akan memulai kesalahan. Dalam hal kelas kata, kata sebab berciri nomina, sedangkan kata karena berciri partikel.
Dalam turunan selanjutnya, nomina berciri bebas dan dapat menjadi dasar pembentukan kata lain melalui imbuhan. Sebaliknya, partikel ditetapkan sebagai kata terikat: tidak dapat diberikan imbuhan apa pun. Contoh lain kata yang berciri terikat dapat ditemui pada kata anti- dan pasca-. Dua kata ini, anti- dan pasca-, tidak dapat menerima imbuhan sehingga menjadi kata *beranti, *dianti, atau *teranti. Begitu juga tidak kita temui kata *berpasca, *dipasca, atau *terpasca. Meski berbeda fungsi dengan kata karena, kata anti- dan pasca- juga termasuk kata tidak bebas: hanya mengikuti kata penuh.
Kasus kedua, kesalahan penggunaan kata depan di dan pada. Kekeliruan dalam struktur kalimat terlihat dalam konteks berikut: (1) Di bulan Ramadan, kita meningkatan sikap toleransi kepada yang menjalankan puasa, (2) Buanglah sampah pada tempatnya, dan (3) Di saat fit and proper test di Komisi III, Tito menjawab semua pertanyaan dewan dengan jelas dan lancar.
Ketiga kalimat itu sepintas tidak menyimpan masalah. Semuanya itu pun bisa dimaknai pemakai bahasa. Akan tetapi, secara fungsi preposisi, di harus menunjuk lokasi atau tempat (sehingga sering dilabeli sebagai pemberi makna lokatif), sedangkan kata pada mengacu waktu atau kondisi. Karena itu, kalimat-kalimat itu seharusnya bertukar (1) Pada bulan Ramadan..., (2) Buanglah sampah di tempatnya (atau ke tempatnya), dan (3) Pada saat fit and proper test....     
Kondisi yang tidak jauh berbeda terjadi pada kata ke dan kepada. Tertukarnya kedua kata itu, kepada menjadi ke, sudah menjadi biasa ditemukan di dalam koran, majalah, dan media daring. Sebut saja seperti dalam kalimat (1) Kasus Sumber Waras sudah dilimpahkan ke KPK, (2) Laporan itu disampaikan ke Bareskrim Polri, dan (3) Agar memberikan kepastian,  BPK harus membuka hasil audit tersebut ke publik.
Sekali lagi ketiga kalimat itu seakan berteri­ma, tetapi sebenarnya salah. Pada kalimat (1), seharusnya KPK tidak dipersepsi sebagai tempat, tetapi lembaga penerima yang berciri persona. Secara analogi, kita tidak bisa menerima kalimat Kue itu diberikan ke adik. Hal itu semata-mata karena adik bukanlah tempat, melainkan persona. Begitu pun pada kalimat (3), kata publik bukanlah tempat yang sebanding dengan lokasi seperti kota, rumah, ataupun lembaga, melainkan tujuan atau sasaran.
Tertukarnya fungsi kata-kata di atas merupakan reali­tas berbahasa pemakai bahasa Indonesia yang menggampangkan. Tanpa kesahihan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar