Nama Sersan Usman Mohamed Ali dan Kopral Harun Said
merupakan sebuah alusio. Nama itu merujuk sejarah perjuangan rakyat Indonesia.
Dalam nama itu terkandung persona: anak bangsa yang mengemban tugas mulia dan
gugur dalam rangka cinta Tanah Air dan bangsa. Keduanya menjalankan misi dari
negara. Apresiasi pun muncul istimewa: Usman-Harun dinobatkan sebagai pahlawan
kita, pahlawan Indonesia.
Dalam konteks semiotika, kata ‘Usman-Harun’ yang akan dilekatkan
pada sebuah nama KRI merupakan sebuah tanda. Tanda bahasa yang bersifat dua
sisi (<i>a two-sided<P> atau
<i>bilateral sign<P>),
yakni berupa imaji bunyi (Usman-Harun) dan petanda yang mewakili konsep (objeknya).
Dalam segitiga semiotika (oleh Ferdinand de Saussure, 1969), makna (acuan)
tanda itu berada di luar konteks bahasa yang hubungannya bersifat semena
(arbitrer). Kearbitreran inilah yang memunculkan tanda interpretan berbeda antara
pengirim dan penerimanya. Dalam komunikasi, tanda interpretan selalu muncul dan
kadang menjadi pangkal masalah.
Baik Singapura maupun Indonesia mempunyai tanda interpretan yang
berbeda terhadap kata ‘Usman-Harun’ (representamen). Kedua negara tidak sepadan
dan cenderung bergeser ke arah interpretasi dan asumsi terhadap tanda tersebut.
Hal itu muncul karena ketidaksamaan pengetahuan (<i>ground<P>) yang ada pada pengirim (Indonesia) dan penerima (Singapura) tanda. Menurut
Piere (1977), tanpa <i>ground<P>,
representamen sama sekali tidak dapat
diterima.
Bagi Indonesia, kata ‘Usman–Harun’ dimaknai sebagai
pengacuan pahlawan, suatu penghargaan kepada warga yang membela dan berjasa
bagi negara. Di dalam kata ‘pahlawan’
terkandung kedalaman makna heroik, yang harus diapresiasi dan dikenang
sepanjang masa. Pelekatan kata ‘Usman-Harun’ pada nama KRI merupakan perekaman
sejarah agar nama itu terpatri dalam lembaran sejarah Indonesia.
Sebaliknya, tanda interpretan ‘Usman-Harun’ bagi Singapura merupakan
nama tokoh teroris yang mengebom pusat keramaian di Jalan Orchard, Singapura, pada
1965. Negara pulau dengan sebutan nama <i>the Little Dot Red<P> itu
menilai penggunaan nama Usman Harun untuk kapal perang RI itu justru melukai
perasaan rakyat Singapura, terutama keluarga korban peristiwa pengeboman
tersebut.
Selain faktor <i>ground<p>,
tanda interpretan itu dimaknai kedua partisipan (Indonesia-Singapura) dari sisi
informasi dan maksud (Abdul Chaer, 1995). Singapura melihat persona Usman-Harun
dari informasi yang menempatkan keduanya sebagai anggota TNI yang menyabotase
di negaranya. Informasi itu memang tanda interpretan objektif yang terekam
sejarah. Sebaliknya, bagi Indonesia, persona Usman-Harun dilihat dari makna
maksud bahwa nama kedua anggota satuan elite Korps Komando Operasi (cikal bakal
Marinir) harus diabadikan sebagai tanda penghormatan.
Maksud dalam satuan makna memang cenderung subjektif,
terutama bagi pengirim pesan. Bagi Indonesia, tanda interpretan Usman-Harun
pada nama KRI itu merupakan subjektif negara yang tidak bisa diatur, didikte,
atau diarahkan oleh negara mana pun. Oleh
karena itu, mau atau tidak mau, suka tidak suka, Singapura harus keluar dari
lingkaran makna interpretan atas pemberian nama KRI itu. Rakyat Indonesia tidak
bisa dihalangi untuk mencintai pahlawan bangsa, Usman- Harun.
_______
Dalam trikotomi tanda (Piere), segitiga semiotika bisa
berlanjut dan membentuk tanda lain sehingga akan memunculkan rangkaian yang tak
terbatas. Dalam konteks Usman-Harun, respons dari Singapura akan memunculkan
tanda interpretan baru bagi Indonesia. Bisa saja Indonesia merespons dengan
memutus hubungan diplomatik dengan negara pulau itu, yakni menarik duta besar
Indonesia. Sebaliknya, Singapura pun akan memulangkan duta besarnya. Kalau kita
lihat, rangkaian trikotomi itu sudah muncul tanpa kendali negara. Komentar di
media daring (terutama dari
Indonesia) merebak dan membangkitkan kebencian terhadap Singapura. Tak sedikit
yang mengatakan Singapura sedang membangunkan ‘macan tidur’ Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar