Jumat, 28 Oktober 2016

Interpretan KRI Usman-Harun



Nama Sersan Usman Mohamed Ali dan Kopral Harun Said merupakan sebuah alusio. Nama itu merujuk sejarah perjuangan rakyat Indonesia. Dalam nama itu terkandung persona: anak bangsa yang mengemban tugas mulia dan gugur dalam rangka cinta Tanah Air dan bangsa. Keduanya menjalankan misi dari negara. Apresiasi pun muncul istimewa: Usman-Harun dinobatkan sebagai pahlawan kita, pahlawan Indonesia.
Dalam konteks semiotika, kata ‘Usman-Harun’ yang akan dilekatkan pada sebuah nama KRI merupakan sebuah tanda. Tanda bahasa yang bersifat dua sisi (<i>a two-sided<P> atau <i>bilateral sign<P>), yakni berupa imaji bunyi (Usman-Harun)  dan petanda yang mewakili konsep (objeknya). Dalam segitiga semiotika (oleh Ferdinand de Saussure, 1969), makna (acuan) tanda itu berada di luar konteks bahasa yang hubungannya bersifat semena (arbitrer). Kearbitreran inilah yang memunculkan tanda interpretan berbeda antara pengirim dan penerimanya. Dalam komunikasi, tanda interpretan selalu muncul dan kadang menjadi pangkal masalah.
Baik Singapura maupun Indonesia mempunyai tanda interpretan yang berbeda terhadap kata ‘Usman-Harun’ (representamen). Kedua negara tidak sepadan dan cenderung bergeser ke arah interpretasi dan asumsi terhadap tanda tersebut. Hal itu muncul karena ketidaksamaan pengetahuan (<i>ground<P>) yang ada pada pengirim  (Indonesia) dan penerima (Singapura) tanda. Menurut Piere (1977), tanpa <i>ground<P>,  representamen sama sekali tidak dapat diterima.
Bagi Indonesia, kata ‘Usman–Harun’ dimaknai sebagai pengacuan pahlawan, suatu penghargaan kepada warga yang membela dan berjasa bagi negara.  Di dalam kata ‘pahlawan’ terkandung kedalaman makna heroik, yang harus diapresiasi dan dikenang sepanjang masa. Pelekatan kata ‘Usman-Harun’ pada nama KRI merupakan perekaman sejarah agar nama itu terpatri dalam lembaran sejarah Indonesia.
Sebaliknya, tanda interpretan ‘Usman-Harun’ bagi Singapura merupakan nama tokoh teroris yang mengebom pusat keramaian di Jalan Orchard, Singapura, pada 1965. Negara pulau dengan sebutan nama <i>the Little Dot Red<P> itu menilai penggunaan nama Usman Harun untuk kapal perang RI itu justru melukai perasaan rakyat Singapura, terutama keluarga korban peristiwa pengeboman tersebut.
Selain faktor <i>ground<p>, tanda interpretan itu dimaknai kedua partisipan (Indonesia-Singapura) dari sisi informasi dan maksud (Abdul Chaer, 1995). Singapura melihat persona Usman-Harun dari informasi yang menempatkan keduanya sebagai anggota TNI yang menyabotase di negaranya. Informasi itu memang tanda interpretan objektif yang terekam sejarah. Sebaliknya, bagi Indonesia, persona Usman-Harun dilihat dari makna maksud bahwa nama kedua anggota satuan elite Korps Komando Operasi (cikal bakal Marinir) harus diabadikan sebagai tanda penghormatan.
Maksud dalam satuan makna memang cenderung subjektif, terutama bagi pengirim pesan. Bagi Indonesia, tanda interpretan Usman-Harun pada nama KRI itu merupakan subjektif negara yang tidak bisa diatur, didikte, atau diarahkan oleh negara mana pun.  Oleh karena itu, mau atau tidak mau, suka tidak suka, Singapura harus keluar dari lingkaran makna interpretan atas pemberian nama KRI itu. Rakyat Indonesia tidak bisa dihalangi untuk mencintai pahlawan bangsa, Usman- Harun.


_______                  
Dalam trikotomi tanda (Piere), segitiga semiotika bisa berlanjut dan membentuk tanda lain sehingga akan memunculkan rangkaian yang tak terbatas. Dalam konteks Usman-Harun, respons dari Singapura akan memunculkan tanda interpretan baru bagi Indonesia. Bisa saja Indonesia merespons dengan memutus hubungan diplomatik dengan negara pulau itu, yakni menarik duta besar Indonesia. Sebaliknya, Singapura pun akan memulangkan duta besarnya. Kalau kita lihat, rangkaian trikotomi itu sudah muncul tanpa kendali negara. Komentar di media daring (terutama dari Indonesia) merebak dan membangkitkan kebencian terhadap Singapura. Tak sedikit yang mengatakan Singapura sedang membangunkan ‘macan tidur’ Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar