Jumat, 28 Oktober 2016

Implikatur 1.000 Persen



                Pasti Anda pernah menemukan kelompok kata  ini: '100% halal', '100% cotton', atau 'lulus 100%'.  Kata-kata itu memang kerap ditemukan di keseharian kita. Misalnya, kelompok kata pertama biasa kita temukan di kemasan makanan atau di restoran. Istilah ini sebetulnya menyampaikan pesan bahwa makanan dalam kemasan atau yang  dijual itu layak untuk dikonsumsi. Bahan makanan itu pun 100% mengandung kehalalan. Informasi ini tentu penting bagi kelompok kepercayaan tertentu.
                Untuk istilah kata kedua juga biasa ditemukan pada merek pakaian. Pesan itu lagi-lagi menguatkan bahwa pakaian tersebut  berbahan cotton hingga mencapai 100%, alias tanpa bahan tambahan lain. Untuk yang terakhir, istilah kata 'lulus 100%' juga biasa kita dengar saat kelulusan anak sekolah. Yang berarti pula semua siswa di sekolah itu, khususnya yang dites atau diuji, dinyatakan lulus.
                Sebutan 100% pada kata di atas menunjukkan kewajaran. Wajar karena untuk pengistilahan sifat (kualitas) hanya sampai pada angka 100. Angka inilah diyakini batas kesempurnaan suatu benda (termasuk yang dibendakan). Sebaliknya, untuk perubahan nilai yang merupakan kelipatan jumlah dari nilai pertama bisa dinyatakan persentasenya hingga melebihi 100. Misalnya saja, angka kenaikan harga bahan pokok yang  terjadi belum lama ini. Sebagai contoh, harga cabai yang awalnya Rp20.000/kg mengalami kenaikan menjadi Rp60.000/kg. Berarti kenaikan itu mencapai 200 persen.  Kasus ini tentu ini bukan lagi menunjukkan sifat benda  seperti contoh sebelumnya, melainkan jumlah (kuantitas) nilai benda.
                Namun, bagaimana dengan kelompok kata '1.000 persen'. Apakah Anda sering menemukannya? Tentu saja yang menyimak perkembangan berita politik di Tanah Air  mungkin mulai 'akrab' dengan kata '1.000 persen' itu. Ya, kata itu memang dilontarkan oleh orang-orang hebat di negeri ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Anas Urbaninggrum. Simak saja bantahan SBY saat mengomentari kesaksian Luthfi Hasan Ishaaq perihal kedekatan keluarga Istana dengan sosok wanita bernama Bunda Putri. “Saya katakan 1.000 persen Luthfi bohong,” ujar Presiden SBY.
                Apa yang sedang dimaksudkan SBY dengan istilah itu? Bukankah tingkat kebohongan itu mutlak di 100% saja. Yang artinya kebohongan yang paling bohong maksimum di angka itu. Bukan 1.000 persen, yang jauh membumbung 10 kali lipat. 
                Dari aspek konteks kata, SBY ingin rakyat tahu bahwa yang disampaikan Luthfi  itu tidak mengandung kebenaran sama sekali. Bisa pula penegasan bahwa pemberi pesan tidak terkait sedikit pun dengan Bunda Putri. Jadi, bila ada yang menyebutkan sebaliknya (Istana terlibat), itu kebohongan besar yang setara dengan 1.000 persen.
                Sebaliknya, pemaknaan di luar konteks justru akan berimplikasi tanpa bisa diprediksi.  Persepsi tuturan itu bisa menegaskan bahwa pengirim pesan sudah tidak percaya diri bila menyebut hanya 100%. Bisa jadi pula kalau hanya 100%, penerima pesan (baca: rakyat) tidak percaya begitu saja sehingga pengirim pesan harus menyatakan '1.000 persen'. Selain itu, bisa dikatakan bahwa pengirim pesan sedang bersensasi sehingga tidak memberi makna secara benar pada ujarannya.               
                Bagaimana pula dengan '1.000 persen siap ditahan' versi Anas? Lagi-lagi itu menampakkan ekspresi diri pengirim pesan. Anggapan pun muncul sebagai reaksi. Menurut Ruhut, ucapan Anas merupakan sikap frustrasi. Entahlah.... Bisa jadi rakyat tak meyakini walaupun orang hebat itu mengucapkan '1.000 persen' berkali-kali. 
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar