Pasti
Anda pernah menemukan kelompok kata ini:
'100% halal', '100% cotton', atau 'lulus 100%'.
Kata-kata itu memang kerap ditemukan di keseharian kita. Misalnya, kelompok
kata pertama biasa kita temukan di kemasan makanan atau di restoran. Istilah
ini sebetulnya menyampaikan pesan bahwa makanan dalam kemasan atau yang dijual itu layak untuk dikonsumsi. Bahan
makanan itu pun 100% mengandung kehalalan. Informasi ini tentu penting bagi
kelompok kepercayaan tertentu.
Untuk
istilah kata kedua juga biasa ditemukan pada merek pakaian. Pesan itu lagi-lagi
menguatkan bahwa pakaian tersebut
berbahan cotton hingga mencapai 100%, alias tanpa bahan tambahan lain. Untuk
yang terakhir, istilah kata 'lulus 100%' juga biasa kita dengar saat kelulusan anak
sekolah. Yang berarti pula semua siswa di sekolah itu, khususnya yang dites
atau diuji, dinyatakan lulus.
Sebutan
100% pada kata di atas menunjukkan kewajaran. Wajar karena untuk pengistilahan
sifat (kualitas) hanya sampai pada angka 100. Angka inilah diyakini batas
kesempurnaan suatu benda (termasuk yang dibendakan). Sebaliknya, untuk
perubahan nilai yang merupakan kelipatan jumlah dari nilai pertama bisa dinyatakan
persentasenya hingga melebihi 100. Misalnya saja, angka kenaikan harga bahan
pokok yang terjadi belum lama ini.
Sebagai contoh, harga cabai yang awalnya Rp20.000/kg mengalami kenaikan menjadi
Rp60.000/kg. Berarti kenaikan itu mencapai 200 persen. Kasus ini tentu ini bukan lagi menunjukkan sifat
benda seperti contoh sebelumnya,
melainkan jumlah (kuantitas) nilai benda.
Namun,
bagaimana dengan kelompok kata '1.000 persen'. Apakah Anda sering menemukannya?
Tentu saja yang menyimak perkembangan berita politik di Tanah Air mungkin mulai 'akrab' dengan kata '1.000
persen' itu. Ya, kata itu memang dilontarkan oleh orang-orang hebat di negeri
ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Anas Urbaninggrum. Simak saja
bantahan SBY saat mengomentari kesaksian Luthfi Hasan Ishaaq perihal kedekatan
keluarga Istana dengan sosok wanita bernama Bunda Putri. “Saya katakan 1.000
persen Luthfi bohong,” ujar Presiden SBY.
Apa
yang sedang dimaksudkan SBY dengan istilah itu? Bukankah tingkat kebohongan itu
mutlak di 100% saja. Yang artinya kebohongan yang paling bohong maksimum di
angka itu. Bukan 1.000 persen, yang jauh membumbung 10 kali lipat.
Dari
aspek konteks kata, SBY ingin rakyat tahu bahwa yang disampaikan Luthfi itu tidak mengandung kebenaran sama sekali. Bisa
pula penegasan bahwa pemberi pesan tidak terkait sedikit pun dengan Bunda Putri.
Jadi, bila ada yang menyebutkan sebaliknya (Istana terlibat), itu kebohongan
besar yang setara dengan 1.000 persen.
Sebaliknya,
pemaknaan di luar konteks justru akan berimplikasi tanpa bisa diprediksi. Persepsi tuturan itu bisa menegaskan bahwa
pengirim pesan sudah tidak percaya diri bila menyebut hanya 100%. Bisa jadi
pula kalau hanya 100%, penerima pesan (baca: rakyat) tidak percaya begitu saja
sehingga pengirim pesan harus menyatakan '1.000 persen'. Selain itu, bisa dikatakan
bahwa pengirim pesan sedang bersensasi sehingga tidak memberi makna secara
benar pada ujarannya.
Bagaimana
pula dengan '1.000 persen siap ditahan' versi Anas? Lagi-lagi itu menampakkan
ekspresi diri pengirim pesan. Anggapan pun muncul sebagai reaksi. Menurut Ruhut,
ucapan Anas merupakan sikap frustrasi. Entahlah.... Bisa jadi rakyat tak
meyakini walaupun orang hebat itu mengucapkan '1.000 persen' berkali-kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar