TIBA-TIBA
saya dibisiki teman saya, "Ada petugas karcis yang enggak pakai rok."
Karena lagi berkendara, saya tidak menanggapi walaupun sebenarnya penasaran.
Setiba di tempat parkir, kawan itu kembali berpromosi mengulang kalimat itu.
Saya pun merespons, "Petugas yang mana?" Sambil tertawa lega ia pun
menjawab, "Petugas yang laki-laki."
Sekarang
bukan ceritanya yang membuat saya tertarik, melainkan kalimat itu sendiri. Bila
tanpa logika berbahasa, kita pasti sangat bernafsu mengomentari kalimat tadi.
Rasa ingin tahu pasti menggugah. Setidaknya hati kecil berbisik, Masak ada
petugas karcis yang enggak pakai rok?
Mengapa saya
terpengaruh? Hal itu bisa saja karena saya dan teman saya tidak dalam
pengalaman berbahasa yang sama. Frasa tidak pakai rok bagi sang teman
adalah bisa petugas laki-laki. Sebaliknya bagi saya, rok hanya identik dengan
kaum Hawa.
Kalimat
candaan tersebut bisa jadi menguji nalar kita untuk merespons. Apakah kita
dapat menangkap pesan gramatikal yang memang menjadi sebuah tujuan yang hendak
ditransfer kepada pendengar.
Boleh jadi
sebuah kalimat "Setelah ditangkap, polisi membawa penjahat itu"
merupakan kalimat yang bernalar salah. Kalau kita runut secara makna, Anda
pasti mengurai bahwa yang ditangkap adalah penjahat lalu dibawa polisi.
Pendapat yang Anda ajukan benar. Sebaliknya, dari segi struktur, kalimat itu
berbohong karena yang ditangkap justru polisi, bukan penjahat. Mengapa
demikian?
Secara
normatif, kalimat rumpang memang dimungkinkan, terutama untuk menghindari penggunaan
kata yang mubazir dalam kalimat bertingkat. Oleh karena itu, kalimat rumpang
pada setelah ditangkap secara substitusi bisa ditambahkan dengan subjek
kalimat itu, yakni polisi. Kalimat tadi menjadi 'Setelah (polisi) ditangkap,
polisi membawa penjahat itu'. Kalau sudah demikian, Anda akan bilang kalimat
itu salah, kan?
Kesalahan
mendasar kalimat 'Setelah ditangkap, polisi membawa penjahat itu' terletak pada
ketidakparalelan menggunakan bentuk kata. Ragam pasif pada anak kalimat
seharusnya diikuti klausa atasan, yaitu kata membawa diganti dibawa.
Berlaku juga untuk sebaliknya. Kalimat ubahan 'Setelah ditangkap, penjahat
dibawa (oleh) polisi' lebih bernalar, baik secara makna maupun struktur.
Tidak jauh
berbeda dengan contoh kalimat di atas, kalimat 'Taufik Hidayat memenangkan
pertandingan itu' juga kalimat berbohong. Setelah membaca kalimat itu, Anda
spontan akan mengatakan bahwa yang menang adalah Taufik Hidayat. Tapi tunggu
dulu. Penggunaan imbuhan me-kan pada kata memenangkan ternyata
bermakna benefaktif, yakni 'berbuat untuk orang lain'. Ini berarti subjek
kalimat itu tidak menang, tetapi justru memberikan kemenangan pada kata pertandingan.
Jika ingin bernalar, imbuhan me-kan pada kata memenangkan diubah
dengan me-i, menjadi 'Taufik Hidayat memenangi pertandingan itu'.
Sebaliknya pada kalimat 'Manajer itu membawahkan staf yang rajin-rajin' justru
kalimat bernalar. Tidak berbohong seperti kalimat sebelumnya. Mengapa demikian?
Imbuhan me-kan
pada kata membawahkan tidak lagi bermakna benefaktif seperti kata memenangkan,
tetapi bermakna kausatif (membuat jadi). Ini berarti objek kalimat itu memang
di bawah subjeknya. Sebaliknya akan salah bila diganti membawahi.
Kalimat yang
saya uraikan tersebut merupakan contoh kecil kesalahan kita menghubungkan fakta
dengan bahasa. Pengungkapan yang tidak berdasarkan fakta inilah yang dikatakan
berbohong. Ini berarti kemampuan berbahasa tidak dapat merealisasikan kemampuan
berpikir. Mungkin juga kemampuan berbahasa mengingkari fakta dalam pikiran
penulis atau pembicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar