Minggu, 02 Oktober 2016

Logika dan Persepsi



TIDAK jarang konsep logika dan persepsi ini terbolak-balik. Maksudnya sedang berlogika, malah yang muncul persepsi. Sebaliknya, yang dimaksudkan persepsi malah menjadi logika. Kondisi itu terlihat dari tata kelola pemerintah pusat dalam menyikapi pulau-pulau di perbatasan dengan negara tetangga.
Dari Orde Baru sampai pemerintahan Presiden Susilo Yudhoyono, pulau seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dianggap pulau terluar. Artinya, Pulau Jawa merupakan bagian dalam atau menjadi pusat, setidaknya pusat pemerintahan dan bisnis. Semakin jauh suatu daerah dengan pusat, semakin lemah kontrol dan kendali. Begitu juga aspek pembangunan dan pendidikan. Semua daerah yang berbatasan dengan negara tetangga itu miskin. Tertinggal dalam segala aspek dan tersisih dari perhatian pemerintah.
Di era Jokowi, cara pandang itu dibalik. Persepsi pusat dan daerah disamping­kan. Yang muncul ialah pulau seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dianggap pulau terdepan, bukan terluar. Persepsi itu membangun sikap bahwa pulau-pulau itu menjadi etalase Indonesia sehingga perlu dikelola dan diberdayakan. Kini muncul semangat membangun daerah terdepan itu dari segala aspek: sarana dan prasarana.
Cara pandang itu sesungguhnya berangkat dari persepsi, bukan logika. Berdiri atas anggap­an dari sebuah respons. Dalam persepsi itu yang muncul ialah subjektivitas, naluri, dan keakuan. Sebaliknya, logika mengedepankan kaidah dan jalan pikiran yang masuk akal.
Pada konteks lain, persepsi dan logika terjad­i dalam menggunakan kata menyebabkan dan mengakibatkan. Saat terkuaknya peristiwa Yy, 14, di Bengkulu, yang mengalami kekerasan seksual, muncul kalimat-kalimat tak berlogika seperti (1) Internet mengakibatkan tindakan asusila terhadap anak-anak dan perempuan, (2) Kemiskinan mengakibatkan anak-anak putus sekolah, dan (3) Kontrol orangtua yang lemah pada anak-anak mereka akan mengakibatkan pergaulan bebas.
Apa yang saya sebut tak berlogika dalam ka­limat itu? Bila dibaca sepintas, tentu saja ke­tidaklogisan itu tidak akan terlihat. Marilah baca sekali lagi! Intinya ada masalah tertukar pemaknaan kata menyebabkan dan mengakibatkan. Dalam konteks kalimat (1) hingga (3), yang seharus tertulis ialah kata menyebabkan, bukan mengakibatkan. Mengapa? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata akibat berarti ‘sesuatu yang merupakan akhir atau hasil suatu peristiwa’, sedangkan sebab ‘hal yang menjadikan timbulnya sesuatu; lantaran; karena; (asal) mula’.
Lain lagi aspek logika dan persepsi dalam konteks keda­laman air atau ketinggian air. Tak jarang awak media (baik cetak maupun elektronik) menyebut Ketinggian debit air di Bendung Katulampa mencapai angka 200 cm. Di lain kesempatan menyebut Kedalaman banjir mencapai 200 cm. Kembali lagi dua contoh itu membenturkan logika dan persepsi.
Secara logika, pengukuran debit air dilakukan dari atas ke bawah (ke dasar sungai, danau, kolam, atau bendungan). Artinya, si pengukur tidak perlu menyelam untuk mengetahui kedalaman air tersebut. Cukup menjejakkan meteran. Hasilnya pun akan segera diketahui. Cara seperti itu lazim dilakukan dan berlogika.
Bagaimana dengan ketinggian (air)? Tentu saja yang seperti ini merupakan persepsi. Menganggap mengukur kedalaman air seperti mengukur tinggi pohon. Kita dapat menyebut ketinggian pohon karena kita sedang berada di pangkal pohon lalu mengarahkan meteran ke atas. Sebaliknya dalam mengukur debit air, kita tidak menyelam di dasar sungai lalu menegakkan meteran ke atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar