TIDAK jarang
konsep logika dan persepsi ini terbolak-balik. Maksudnya sedang berlogika,
malah yang muncul persepsi. Sebaliknya, yang dimaksudkan persepsi malah menjadi
logika. Kondisi itu terlihat dari tata kelola pemerintah pusat dalam menyikapi
pulau-pulau di perbatasan dengan negara tetangga.
Dari Orde Baru sampai
pemerintahan Presiden Susilo Yudhoyono, pulau seperti Kalimantan, Sulawesi, dan
Papua dianggap pulau terluar. Artinya, Pulau Jawa merupakan bagian dalam atau
menjadi pusat, setidaknya pusat pemerintahan dan bisnis. Semakin jauh suatu
daerah dengan pusat, semakin lemah kontrol dan kendali. Begitu juga aspek
pembangunan dan pendidikan. Semua daerah yang berbatasan dengan negara tetangga
itu miskin. Tertinggal dalam segala aspek dan tersisih dari perhatian
pemerintah.
Di era Jokowi, cara
pandang itu dibalik. Persepsi pusat dan daerah disampingkan. Yang muncul ialah
pulau seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dianggap pulau terdepan, bukan
terluar. Persepsi itu membangun sikap bahwa pulau-pulau itu menjadi etalase
Indonesia sehingga perlu dikelola dan diberdayakan. Kini muncul semangat
membangun daerah terdepan itu dari segala aspek: sarana dan prasarana.
Cara pandang itu
sesungguhnya berangkat dari persepsi, bukan logika. Berdiri atas anggapan dari
sebuah respons. Dalam persepsi itu yang muncul ialah subjektivitas, naluri, dan
keakuan. Sebaliknya, logika mengedepankan kaidah dan jalan pikiran yang masuk
akal.
Pada konteks lain,
persepsi dan logika terjadi dalam menggunakan kata menyebabkan dan mengakibatkan.
Saat terkuaknya peristiwa Yy, 14, di Bengkulu, yang mengalami kekerasan
seksual, muncul kalimat-kalimat tak berlogika seperti (1) Internet
mengakibatkan tindakan asusila terhadap anak-anak dan perempuan, (2) Kemiskinan
mengakibatkan anak-anak putus sekolah, dan (3) Kontrol orangtua yang
lemah pada anak-anak mereka akan mengakibatkan pergaulan bebas.
Apa
yang saya sebut tak berlogika dalam kalimat itu? Bila dibaca sepintas, tentu
saja ketidaklogisan itu tidak akan terlihat. Marilah baca sekali lagi! Intinya
ada masalah tertukar pemaknaan kata menyebabkan dan mengakibatkan.
Dalam konteks kalimat (1) hingga (3), yang seharus tertulis ialah kata menyebabkan,
bukan mengakibatkan. Mengapa? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
kata akibat berarti ‘sesuatu yang merupakan akhir atau hasil suatu
peristiwa’, sedangkan sebab ‘hal yang menjadikan timbulnya sesuatu;
lantaran; karena; (asal) mula’.
Lain lagi aspek logika
dan persepsi dalam konteks kedalaman air atau ketinggian air. Tak jarang awak
media (baik cetak maupun elektronik) menyebut Ketinggian debit air di
Bendung Katulampa mencapai angka 200 cm. Di lain kesempatan menyebut Kedalaman
banjir mencapai 200 cm. Kembali lagi dua contoh itu membenturkan logika dan
persepsi.
Secara logika,
pengukuran debit air dilakukan dari atas ke bawah (ke dasar sungai, danau,
kolam, atau bendungan). Artinya, si pengukur tidak perlu menyelam untuk
mengetahui kedalaman air tersebut. Cukup menjejakkan meteran. Hasilnya pun akan
segera diketahui. Cara seperti itu lazim dilakukan dan berlogika.
Bagaimana dengan
ketinggian (air)? Tentu saja yang seperti ini merupakan persepsi. Menganggap
mengukur kedalaman air seperti mengukur tinggi pohon. Kita dapat menyebut
ketinggian pohon karena kita sedang berada di pangkal pohon lalu mengarahkan
meteran ke atas. Sebaliknya dalam mengukur debit air, kita tidak menyelam di
dasar sungai lalu menegakkan meteran ke atas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar