Jumat, 30 September 2016

Jangan Melewatkan Ramadan




Pesan Ramadan seperti  dalam judul  tulisan ini kerap disampaikan, utamanya di penghujung  Ramadan. Para uztaz, dai, ataupun orangtua selalu mengulang kata nan bijak itu agar kita umat muslim bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah di bulan Ramadan.  Mungkin ini bahasa yang ringkas, tetapi sarat dengan makna. Namun, sering pula kata-kata itu bersalin bentuk, misalnya kata melewatkan, di suatu momen, berganti melewati, menjalani bertukar menjalankan.
Silih bergantinya imbuhan -kan atau -i  ini muncul dalam persepsi yang bias. Rasanya belum terlalu lama media massa terbebas dari logika kata memenangkan atau memenangi (pertandingan). Di banyak kesempatan, pembawa berita TV sudah lantang menggunakan kalimat itu dengan tepat. Sebagai misal, kalimat Lecienter City memenangi pertandingan di Liga Inggris diberitakan TV dan berterima.
Masalah imbuhan seperti di atas masih dan akan tetap saja terjadi. Lepas dari kata memenangkan dan memenangi, kini muncul kegagapan antara kata menugasi dan menugaskan, lalu tergelincir menggunakan kata membawahi dan membawahkan. Nah, sekarang ada lagi kata menjalani atau menjalankan, melewati atau melewatkan. Lalu mana kata yang berterima dan berlogika?
Mari kita mulai dari kata menjalani dan menjalankan. Tertukarnya dua kata ini boleh dibilang berintensitas tinggi. Pendakwa dan siapa pun sesekali menyebut ‘selamat menjalankan ibadah puasa’ . Namun, sesekali pula menyebut ‘selamat menjalani puasa’. Seperti dua sisi mata uang yang terlempar, kita seakan tidak ajek menerima kemunculan yang benar, menjalani atau menjalankan!
Kata menjalani bermakna bahwa pelaku mengikuti saja semua prosesi yang sudah direncanakan atau ditentukan oleh pihak lain. Aktivitasnya pun terjadwal dan terukur. Sebagai analogi, kalimat (1) terdakwa menjalani hukuman selama 5 tahun penjara, (2) pengantin menjalani prosesi siraman, dan (2) mahasiswa baru menjalani masa orientasi pengenalan kampus. Kalimat-kalimat itu tentu saja tidak berterima bila saja verba menjalani diganti dengan kata menjalankan. Yang perlu digarisbawahi, dalam konteks-konteks itu, subjek tidak beraktivitas aktif, apalagi berinisiatif, hanya berada dalam arahan.
 Kondisi di atas tentu saja berbeda dengan kalimat ‘selamat menjalakan puasa’. Makna yang muncul dari kata menjalankan ialah keaktifan pelaku. Dalam kalimat berikut ini tergambar bahwa subjek diposisikan sebaga persona aktif: (1) Selamat menjalankan bahtera rumah tangga, (2) Ayahlah yang menjalankan mobil itu, dan (3) Semua karyawan harus menjalankan tugas masing-masing.
Dalam konteks puasa, kalimat   ‘selamat menjalakan puasa’ merupakan struktur yang berterima. Alasannya tentu saja ibadah puasa harus diawali dari aktivitas aktif. Tanpa keaktifan, puasa akan dijalankan dengan keterpaksaan. Umat yang berpuasa berperan aktif untuk mengisi Ramadan, tanpa pemantaun melekat, apalagi terkungkung dari siapa pun.
Selanjutnya, kata melewatkan atau melewati. Lagi-lagi dua kata ini bersintagmatik sekaligus berparadigmatik dengan dua kata sebelumnya. Kata melewati mengesankan ketidakaktifan, sedangkan kata melewatkan menggambarkan bahwa subjek beraktivitas mutlak dan dominan.
Satu kata terakhir, yakni meninggalkan. Sering kali penceramah mengutarakan kalimat ‘Ramadan sebentar lagi akan meninggalkan kita’. Dalam konteks ini, bulan dipersonifikasikan sebagai yang hidup, berubah, dan berpindah. Sampai di sini terlihat bahwa perubahan alam tidak dapat dihentikan. Dari awal umat menjalankan ibadah puasa, lalu dinasihati untuk tidak melewatkan bulan Ramadan. Namun, akhirnya Ramadan itu meninggalkan. Tidak dapat ditahan karena yang kuasa ialah Tuhan. Sebaiknya, kita tidak melewatkan yang akan meninggalkan kita, yakni Ramadan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar