Bukan satu atau dua kali saja
kita mendengar kata ketuk palu. Bisa jadi sudah sepanjang umur persidangan
(termasuk rapat) atau peradilan di Indonesia, kata itu dituliskan dan
diucapkan. Selama itu pula tidak ada masalah atau ada yang mencoba
mempermasalahkan kata itu. Baru-baru ini kata ‘ketuk palu’ ditulis hampir semua
media cetak dan online Tanah Air, misalnya saja saat Undang-Undang Desa
disetujui atau saat putusan perkara mantan Presiden PKS Lutfhi Hasan Ishaq.
Ramai-ramai membuat berita dengan diksi ‘Undang-Undang Desa akhirnya ketuk
palu’ atau ‘DPR mengetuk palu Undang-Undang Desa’, juga ‘Saat ketua majelis hakim hendak
mengetuk palu menutup sidang, Luthfi Hasan Ishaaq buru-buru berbicara’. Apa
sebenarnya logika bahasa dalam kata itu?
Untuk memahami kata itu, coba
saja bandingkan dengan kata ‘ketuk pintu’. Tentu lebih gampang menerima
logikanya bahwa yang sedang (atau yang telah) diketuk ialah benda yang sebut
pintu. ‘Pintu’-lah yang menjadi objek diketukan, bukan benda yang lain.
Sekarang kembali pada kata ‘ketuk palu’. Kalau kita melihat realitas dalam
persidangan atau rapat, hakim dan juga pimpinan rapat tidak pernah mengetuk
palu seperti hal mengetuk pintu, tapi justru palu menjadi alat untuk mengetuk
benda lain. Misalnya saja, ketua sidang mengetuk meja (atau benda lain) dengan
palu.
Dari analisis di atas,
bukankahlogika kata ‘ketuk palu’ itu salah? Ada dua hal yang dapat dijadikan
logika pembenaran kata ‘ketuk palu’. Bila melihat makna konteks, kata ’ketuk
palu’ harus diubah menjadi ‘mengetukkan palu’ sehingga akan muncul kalimat
contoh ‘Hakim sudah mengetukkan palu untuk kasus Luthfi Hasan Ishaq’. Itu
berarti proses peradilan tentang Lutfhi Hasan Ishaq sudah selesai dengan
ditandai hakim mengetukkan palu sebagai tanda bahwa putusan sudah berkuatan
hukum. Yang berarti pula bahwa palu dijadikan alat untuk mengetuk benda lain.
Sebaliknya, kata ‘mengetukkan’itu tidak berterima pada kalimat ‘ia menggetukkan
pintu’. Kita tidak pernah melihat pintu diangkat lalu diketukkan. Artinya,
logika ketuk palu dan ketuk pintu sungguh berbeda.
Sekarang kita bandingkan kata
‘ketuk palu’ dengan kata lain, misalnya dengan kata ‘meja hijau’ yang berarti
‘pengadilan’. Gabungan kata yang sering disebut kata majemuk itu memang
termasuk gabungan yang bermakna penuh, yakni makna ‘pengadilan’ tidak dapat
ditelusuri lagi dari unsur pembentuknya: kata ‘meja’ dan ‘hijau’. Sebaliknya,
kata ‘ketuk palu’ yang bermakna ‘putusan’ bukan termasuk gabungan kata penuh
karena sesungguhnya kata ‘ketuk dan palu’masih dapat ditelusuri dari realitas
bahwa palu masih diketukkan. Begitu pula bila disandingkan dengan gabungan kata
‘daftar hitam’ atau ‘kotak hitam’. Arti kedua gabungan itu masih mencirikan
salah satu unsur pembentuknya: kata ‘daftar’ dan ‘kotak’, yakni kata ‘daftar’
yang masih merujuk pada urutan nama sehingga disebut daftar, juga kata ‘kotak’
yang wakili benda berupa kotak. Hanya
saja kata ‘hitam’pada‘daftar hitam’ bermakna ‘kejahatan’, sedangkan ‘hitam’
pada kata ‘kotak hitam’ bermakna pembicaraan rahasia dalam penerbangan.
Sekarang kembali pada kata ‘ketuk palu’ yang berarti ‘mengetuk benda yang
dinamai palu’ bukan ‘mengetuk dengan palu’. Sekali lagi ini bias logika, bukan?
Contoh-contoh di atas seakan
cukup untuk mengontraskan bahwa kata ‘ketuk palu’ tidak berlogika, serampangan,
dan lepas dari normatif berbahasa. Kesalahan yang sudah menahun dan mendarah
daging itu tidak sebaiknya kita gantidengan ‘mengetukkan palu’: memang lebih
panjang, tetapi berlogika dan berterima. Bukankah bahasa baku,termasuk gabungan
kata (juga kata majemuk) itu harus juga berlogika sehingga berterima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar