Sabtu, 29 Oktober 2016

Logika Ketuk Palu



                Bukan satu atau dua kali saja kita mendengar kata ketuk palu. Bisa jadi sudah sepanjang umur persidangan (termasuk rapat) atau peradilan di Indonesia, kata itu dituliskan dan diucapkan. Selama itu pula tidak ada masalah atau ada yang mencoba mempermasalahkan kata itu. Baru-baru ini kata ‘ketuk palu’ ditulis hampir semua media cetak dan online Tanah Air, misalnya saja saat Undang-Undang Desa disetujui atau saat putusan perkara mantan Presiden PKS Lutfhi Hasan Ishaq. Ramai-ramai membuat berita dengan diksi ‘Undang-Undang Desa akhirnya ketuk palu’ atau ‘DPR mengetuk palu Undang-Undang Desa’,  juga ‘Saat ketua majelis hakim hendak mengetuk palu menutup sidang, Luthfi Hasan Ishaaq buru-buru berbicara’. Apa sebenarnya logika bahasa dalam kata itu?
                Untuk memahami kata itu, coba saja bandingkan dengan kata ‘ketuk pintu’. Tentu lebih gampang menerima logikanya bahwa yang sedang (atau yang telah) diketuk ialah benda yang sebut pintu. ‘Pintu’-lah yang menjadi objek diketukan, bukan benda yang lain. Sekarang kembali pada kata ‘ketuk palu’. Kalau kita melihat realitas dalam persidangan atau rapat, hakim dan juga pimpinan rapat tidak pernah mengetuk palu seperti hal mengetuk pintu, tapi justru palu menjadi alat untuk mengetuk benda lain. Misalnya saja, ketua sidang mengetuk meja (atau benda lain) dengan palu.    
                Dari analisis di atas, bukankahlogika kata ‘ketuk palu’ itu salah? Ada dua hal yang dapat dijadikan logika pembenaran kata ‘ketuk palu’. Bila melihat makna konteks, kata ’ketuk palu’ harus diubah menjadi ‘mengetukkan palu’ sehingga akan muncul kalimat contoh ‘Hakim sudah mengetukkan palu untuk kasus Luthfi Hasan Ishaq’. Itu berarti proses peradilan tentang Lutfhi Hasan Ishaq sudah selesai dengan ditandai hakim mengetukkan palu sebagai tanda bahwa putusan sudah berkuatan hukum. Yang berarti pula bahwa palu dijadikan alat untuk mengetuk benda lain. Sebaliknya, kata ‘mengetukkan’itu tidak berterima pada kalimat ‘ia menggetukkan pintu’. Kita tidak pernah melihat pintu diangkat lalu diketukkan. Artinya, logika ketuk palu dan ketuk pintu sungguh berbeda.
                Sekarang kita bandingkan kata ‘ketuk palu’ dengan kata lain, misalnya dengan kata ‘meja hijau’ yang berarti ‘pengadilan’. Gabungan kata yang sering disebut kata majemuk itu memang termasuk gabungan yang bermakna penuh, yakni makna ‘pengadilan’ tidak dapat ditelusuri lagi dari unsur pembentuknya: kata ‘meja’ dan ‘hijau’. Sebaliknya, kata ‘ketuk palu’ yang bermakna ‘putusan’ bukan termasuk gabungan kata penuh karena sesungguhnya kata ‘ketuk dan palu’masih dapat ditelusuri dari realitas bahwa palu masih diketukkan. Begitu pula bila disandingkan dengan gabungan kata ‘daftar hitam’ atau ‘kotak hitam’. Arti kedua gabungan itu masih mencirikan salah satu unsur pembentuknya: kata ‘daftar’ dan ‘kotak’, yakni kata ‘daftar’ yang masih merujuk pada urutan nama sehingga disebut daftar, juga kata ‘kotak’ yang  wakili benda berupa kotak. Hanya saja kata ‘hitam’pada‘daftar hitam’ bermakna ‘kejahatan’, sedangkan ‘hitam’ pada kata ‘kotak hitam’ bermakna pembicaraan rahasia dalam penerbangan. Sekarang kembali pada kata ‘ketuk palu’ yang berarti ‘mengetuk benda yang dinamai palu’ bukan ‘mengetuk dengan palu’. Sekali lagi ini bias logika, bukan?
                Contoh-contoh di atas seakan cukup untuk mengontraskan bahwa kata ‘ketuk palu’ tidak berlogika, serampangan, dan lepas dari normatif berbahasa. Kesalahan yang sudah menahun dan mendarah daging itu tidak sebaiknya kita gantidengan ‘mengetukkan palu’: memang lebih panjang, tetapi berlogika dan berterima. Bukankah bahasa baku,termasuk gabungan kata (juga kata majemuk) itu harus juga berlogika sehingga berterima.
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar