Aksi teror di Jl
MH Thamrin, Jakarta, memang sudah berlalu. Ulasan berita koran dan TV pun sudah
mulai sayup. Hanya sesekali menghiasi lembaran berita dan layar kaca.
Selebihnya, peristiwa direkam dan menjadi sejarah. Bisa juga berlalu begitu
saja. Lupa.
Memang ada pula yang mengingatnya dengan menjadikannya nama. Misalnya
saja, untuk mengenang Tragedi Semanggi di tahun 1998, muncul sebuah warung
makan yang bernama ‘Warung Semanggi’. Pun di awal Orde Reformasi, ada sebuah
tempat bernama ‘Kafe Reformasi’, ‘Sate Senayan’, dan ‘Warung Perjuangan
Mahasiswa’.
Baru-baru ini satu peristiwa teror terjadi: aksi bom bunuh diri. Sungguh mengagetkan.
Sontak mendapat simpati dengan tekad berani memerangi. Muncul pula ekspresi dan
deklarasi. Tak ketinggalan nama kuliner ini: Bakso Teroris.
Tentu banyak alasan atas kemunculan nama-nama itu. Bisa karena
memberi simpati, menghargai, atau sekadar membuatnya abadi. Bisa juga
spontanitas pribadi untuk melabeli karya dan hasil produksi, juga mengais
rezeki.
Secara semantik, tidak ada hubungan langsung antara nama dan
referensi yang diwakili. Penamaan warung semanggi, kafe reformasi, sate
senayan, dan warung perjuangan mahasiswa merupakan hal semena. Tidak berkaitan
makna antara warung semanggi dengan Peristiwa Semanggi. Warung semanggi
merupakan tempat makan sederhana yang tak berbeda dengan warteg. Biasa menjadi
tempat nongkrong mahasiswa karena ada di dekat kampus. Sebaliknya, Peristiwa
Semanggi terkait erat dengan aksi mahasiswa dalam memperjuangkan reformasi.
Begitu pula, tidak ada kaitan nama warung bakso dengan kata teroris.
Nama itu bukan karena bentuk bulat bakso menyerupai bom. Bukan pula karena
penjualnya mantan teroris. Namun, pelabelan kata teroris pada bakso semata-mata
hanya karena sensasi rasa dan kesan pedas. Bila sudah dikunyah, bakso pun
‘meledak’ memberi rasa enak. Penyuka bakso ini akan terteror untuk selalu
menikmati.
Tak jauh berbeda. Ada pula
menu ‘Ceker Teroris’. Diolah dengan bumbu khusus, yang disebut radikal oleh
pemiliknya, menjadikan menu ceker teroris memiliki rasa pedas yang ekstrem di
mulut. Warung yang berdiri di depan kampus Ubaya Surabaya itu juga tidak
ada kaitan dengan aksi teror. Sama sekali tak berkorelasi.
Dari aspek sosiolinguistik, fenomena nama di atas merupakan realisasi
dari aktivitas berpikir manusia. Kemunculan
nama teroris pada kata bakso dan ceker merefleksikan kondisi sosial masyarakat.
Semua yang terjadi direkam untuk dimaknai. Dengan aksi teror terjadi, penutur
bahasa merespons secara simultan: menanggapi dengan melekatkan kata teroris.
Pelabelan seperti ini tentu bukan yang pertama terjadi. Pada masa
tayangan TV bertema setan atau hantu, muncul warung-warung kuliner yang
menyeramkan. Sebagai misal, muncul bakso setan (ada pula rawon setan), sambal
iblis, nasi pocong (penyebutan lontong), mi neraka, es boto ijo, dan tidak
ketinggalan nasi goreng gentanyangan.
Terakhir, kreasi nama seperti ini akan selalu ada karena bahasa akan
merekam segala tingkah pola manusia. Lalu merendanya menjadi lebih bermakna.
Bisa untuk dikenang agar diingat lama.
Bukan tidak mungkin ada warung Gafatar, warung Novanto (terkait 'papa
minta saham'), atau warung sianida (terkait kematian Mirna). Bisa pula muncul
warung koruptor dan warung radikal. Nama-nama itu memang tidak ikonis, tapi tetap
sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar