Jumat, 30 September 2016

Bakso Teroris



Aksi teror di Jl MH Thamrin, Jakarta, memang sudah berlalu. Ulasan berita koran dan TV pun sudah mulai sayup. Hanya sesekali menghiasi lembaran berita dan layar kaca. Selebihnya, peristiwa direkam dan menjadi sejarah. Bisa juga berlalu begitu saja. Lupa.
Memang ada pula yang mengingatnya dengan menjadikannya nama. Misalnya saja, untuk mengenang Tragedi Semanggi di tahun 1998, muncul sebuah warung makan yang bernama ‘Warung Semanggi’. Pun di awal Orde Reformasi, ada sebuah tempat bernama ‘Kafe Reformasi’, ‘Sate Senayan’, dan ‘Warung Perjuangan Mahasiswa’.
Baru-baru ini satu peristiwa teror terjadi:  aksi bom bunuh diri. Sungguh mengagetkan. Sontak mendapat simpati dengan tekad berani memerangi. Muncul pula ekspresi dan deklarasi. Tak ketinggalan nama kuliner ini: Bakso Teroris.
Tentu banyak alasan atas kemunculan nama-nama itu. Bisa karena memberi simpati, menghargai, atau sekadar membuatnya abadi. Bisa juga spontanitas pribadi untuk melabeli karya dan hasil produksi, juga mengais rezeki.
Secara semantik, tidak ada hubungan langsung antara nama dan referensi yang diwakili. Penamaan warung semanggi, kafe reformasi, sate senayan, dan warung perjuangan mahasiswa merupakan hal semena. Tidak berkaitan makna antara warung semanggi dengan Peristiwa Semanggi. Warung semanggi merupakan tempat makan sederhana yang tak berbeda dengan warteg. Biasa menjadi tempat nongkrong mahasiswa karena ada di dekat kampus. Sebaliknya, Peristiwa Semanggi terkait erat dengan aksi mahasiswa dalam memperjuangkan reformasi.
Begitu pula, tidak ada kaitan nama warung bakso dengan kata teroris. Nama itu bukan karena bentuk bulat bakso menyerupai bom. Bukan pula karena penjualnya mantan teroris. Namun, pelabelan kata teroris pada bakso semata-mata hanya karena sensasi rasa dan kesan pedas. Bila sudah dikunyah, bakso pun ‘meledak’ memberi rasa enak. Penyuka bakso ini akan terteror untuk selalu menikmati. 
 Tak jauh berbeda. Ada pula menu ‘Ceker Teroris’. Diolah dengan bumbu khusus, yang disebut radikal oleh pemiliknya, menjadikan menu ceker teroris memiliki rasa pedas yang ekstrem di mulut.  Warung yang berdiri di depan kampus Ubaya Surabaya itu juga tidak ada kaitan dengan aksi teror. Sama sekali tak berkorelasi.
Dari aspek sosiolinguistik, fenomena nama di atas merupakan realisasi dari aktivitas berpikir  manusia. Kemunculan nama teroris pada kata bakso dan ceker merefleksikan kondisi sosial masyarakat. Semua yang terjadi direkam untuk dimaknai. Dengan aksi teror terjadi, penutur bahasa merespons secara simultan: menanggapi dengan melekatkan kata teroris.  
Pelabelan seperti ini tentu bukan yang pertama terjadi. Pada masa tayangan TV bertema setan atau hantu, muncul warung-warung kuliner yang menyeramkan. Sebagai misal, muncul bakso setan (ada pula rawon setan), sambal iblis, nasi pocong (penyebutan lontong), mi neraka, es boto ijo, dan tidak ketinggalan nasi goreng gentanyangan.
Terakhir, kreasi nama seperti ini akan selalu ada karena bahasa akan merekam segala tingkah pola manusia. Lalu merendanya menjadi lebih bermakna. Bisa untuk dikenang agar diingat lama.  Bukan tidak mungkin ada warung Gafatar, warung Novanto (terkait 'papa minta saham'), atau warung sianida (terkait kematian Mirna). Bisa pula muncul warung koruptor dan warung radikal. Nama-nama itu memang tidak ikonis, tapi tetap sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar