Jumat, 30 September 2016

Daya Bahasa




Siapa pun yang menginjakkan kaki di Kota Bali tentu akan terpesona dengan panorama pantai yang indah. Eksotis.  Setiap saat dikenang, tak tercuali oleh saya. Liburan akhir tahun 2015 sungguh menyenangkan. Satu hal yang juga mengusik saya: akronim Bali (banyak liburan).
Kata Bali (banyak liburan) tertulis apik di cendera mata yang saya pilih. Entah kenapa kata itu seperti pantas untuk disandangkan bila terkait dengan Kota Bali. Akronim itu tentu sebuah kreativitas yang unik, menggelitik, dan menarik. Semua yang membaca akronim itu tentu sedikit berpikir bahwa Bali memang identik dengan liburan. Tempat berlibur yang menyenangkan. Memikat semua wisata untuk beta berlama-lama di Bali. Jadi, sebuah kepantasan bila Bali berakronim banyak liburan.
Sebetulnya akronim seperti di atas memang terasa lazim kita dengar. Ada yang menyangkut daerah atau suku, nama makanan, bahkan hal yang lain di seputaran kampus. Tak jarang pula akronim itu tren di dunia bahasa. Sebutkan saja akronim sembako (sembilan bahan pokok), juklak (petunjuk pelaksana), dan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Tiga akronim ini sesak kita temui di koran atau media online.
Seperti halnya Bali (banyak liburan), akronim menyangkut daerah berikut ini pun juga tak jarang membuat kita tersenyum. Identik dengan daerah itu. Misalnya, kata Sunda yang dibuatkan akronim suka dandan. Entah serta-merta atau kreativitas, akronim itu cocok untuk mewakili daerah Sunda, yakni gadis remaja terlihat cantik dengan dandanan yang menarik. Kadang juga sedikit menor, tapi tetap indah.
Di tanah Sunda ini pun banyak akronim lain yang berkaitan dengan makanan dari sagu (disebut aci), seperti cilok (aci dicolok/makanan berbahan sagu yang tusuk lidi). Ada juga aci digoreng (cireng), oncom di jero (combro), cimol (aci dikemol), dan banyak lagi.
Lain lagi akronim kata Padang. Entah sejak kapan atau siapa yang memulai, kata itu diakronimkan dari pandai dagang. Realitas di tengah masyarakat pun memang masyarakat yang berasal dari Padang, Sumatra Barat, banyak yang berprofesi sebangai pedagang.
Tak ketinggalan di seputaran kampus. Akronim jakun (jakit kuning), kutek (Kukusan Teknik), mapala (mahasiswa pencinta alam),  dan banyak lagi akronim lain merupakan sebuah kreativitas menggunakan kata.
Selain akronim, ada kata yang dipendekkan, disingkat, dan digabungkan sehingga membentuk kata baru. Karena kuatnya proses turunan itu, sering pula kata baru tidak dapat dengan mudah ditelusuri oleh pemakai bahasa.
Bentuk yang disingkat seperti PBB. Kata itu bisa mengacu pada Perserikatan Bangsa-Bangsa, persatuan baris-berbaris, Partai Bulan Bintang, dan bisa juga pada pajak bumi bangunan. Ini  tentu saja memerlukan konteks kalimat yang tepat. Begitu juga bentuk singkat dok (untuk sapaan dokter), kep (untuk kapten), dan prof (untuk profesor) juga memerlukan pemerian yang tepat.
Kreativitas lain dengan cara menggabungkan dua atau lebih kata yang sudah ada. Kita temukan gabungan seperti peti es atau dipetieskan (untuk menyebut masalah hukum yang tidak diteruskan), bangku cadang atau dibangkucadangkan (untuk pemain pengganti), dan alih fungsi atau dialihfungkan (untuk hal yang berganti).
Pendeknya, daya guna akronim, singkatan, pemendekan, dan penggabungan kata seperti di atas akan memperkaya diksi dan ketepatan memilih kata. Terkesan unik, menggelitik, dan menarik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar