Jumat, 30 September 2016

Dimarundakan



KATA dimarundakan sengaja menjadi ulas­an karena menggelitik rasa bahasa. Kata itu muncul seiring dengan aksi Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan yang memindahkan warga Rawajati ke Rusunawa Marunda, Jakarta Utara. Oleh awak berita, pemindahan itu dilabeli ‘dima­rundakan’. Memang pembentukan kata seperti itu bukan yang pertama. Sebut saja ada kata dipolisikan, dibangkucadangkan, dan dirumahkan. Bagaimana kedudukan kata-kata itu dalam bahasa Indonesia?
Secara sintagmatik, kata dipolisikan, dibangkucadangkan, dan dirumahkan dibentuk dari kata dasar yang berkelas sa­ma, yakni nomina (baca: benda) polisi, bangku cadang, dan rumah. Dasar-dasar itu juga menerima awalan yang sama, yakni awalan di- dan akhiran –kan. Pun bila disandingkan dengan kata dimarundakan, prediksi sintagmatiknya menunjukkan kata dasar marunda juga berkelas nomina. Kelas turunannya pun (setelah dilekatkan imbuhan) sama. Sampai tahap ini tidak ada masalah.
Akan tetapi, bila menganalisis secara makna, kita akan menemukan hal tidak tida­k sama. Berbeda dan sedikit semena. Lihatlah dasar rumah yang bermakna tempat atau lokatif. Kita bisa memastikan rumah memang menjadi tempat tinggal. Kata dirumahkan berarti ‘tinggal di rumah atau diminta untuk berada di rumah’. Pun kata bangku cadang, yang juga merujuk tempat duduk untuk para pemain pengganti. Makna harfiah dibangkucadangkan juga diposisikan di bangku khusus untuk pemain cadangan.
 Kedua kata itu rupanya tidak semakna dengan kata polisi. Nyata-nyata kata polisi tidak merujuk tempat, tetapi mengacu lembaga atau instansi. Kalau ingin dipaksakan sama, seharusnya kata dipolisikan diubah menjadi dikantorpolisikan. Artinya pun bergeser, tidak bermakna diadukan kepada polisi, tetapi dibawa ke kantor polisi.
Sekarang kita sandingkan dengan kata marunda. Secara administratif, Marunda merupakan wilayah di Jakarta Utara, yang notabene berciri lokatif dan tempat. Kata dimarundakan berarti pula diminta berada atau tinggal di (daerah) Marunda. Makna itu segaris dengan kata dirumahkan dan dibangkucadangkan. Namun, sekali lagi tidak sama dengan dipolisikan.
Sampai tahap ini, kata dirumahkan, dibangkucadangkan, dan dimarundakan berterima secara morfofonemik dan se­mantik. Sebaliknya, kata dipolisikan tertolak, baik untuk makna diadukan kepada polisi maupun dibawa ke kantor polisi. Hal itu semata-mata hanya kata benda yang berciri lokatif bisa diturunkan dengan imbuhan verba: di-/-kan atau me-/-kan.
Sebaliknya, kata benda yang tidak berciri lokatif tidak dapat dibentuk dengan imbuhan itu. Sebagai contoh, kita tidak bisa membuat kata dipensilkan, dibajukan, atau disandalkan. Itu semata-mata karena ketiga contoh itu berciri alat. Akan tetapi, kita bisa membentuk kata diindonesiakan, dibukukan, atau disampingkan.
Kata diindonesiakan memiliki ciri semantik ‘menjadi seperti Indonesia, milik Indonesia, atau bisa pula memiliki arti dipulangkan ke Indonesia’. Sebagai pemisalan, ketika TKI dideportasi dari negara lain, itu bisa disebut diindonesiakan, yang bermakna diminta tinggal di Indonesia atau dipulangkan ke Indonesia.
Dari ulasan itu dapat dikatakan bahwa pembentukan kata dapat diprediksi kebenarannya secara sintagmatik dan paradigmatik. Titik tekan sintagmatik terletak pada perbandingan kata secara atas-bawah, sedangkan paradigmatik memprediksi kata yang terletak di sebelah kanan atau kiri. Prinsip itu menentukan pengisi kata berikutnya dari susunan itu.

1 komentar: