Selama 20 tahun lebih memori saya mengingat penjelasan
dosen linguistik umum bahwa kata asing reshuffle,
de jure, dan de facto tidak boleh
diserap ke dalam bahasa Indonesia. Alasannya karena itu merupakan kata bidang
ketatanegaraan atau hukum yang berlaku secara universal. Kata-kata sejenis itu
hanya bisa dipadankan dengan kata Indonesia. Kata perombakan dan penggantian
dianggap sepadan dengan kata reshuffle.
Untuk kata de jure diberi padanan frasa
sesuai dengan hukum atau berdasarkan hukum. Kata-kata asing itu tidak
boleh diserap serampangan, misalnya menjadi resafel,
dejur, atau defakta. Penyerapan
itu akan dianggap salah dan semena.
Selama
itu pula saya menganggap kata itu berintegritas dan bernilai rasa positif.
Penggunaannya pun khusus. Terbatas dan spesifik. Kata reshuffle hanya digunakan dalam bidang ketatanegaraan.
Paling-paling dipakai sekali dalam lima tahun kepemimpinan presiden. Bahkan
sepanjang masa Orde Baru kata itu tidak digunakan. Itu berarti tidak ada
penggantian menteri di tengah jalan.
Di
era Jokowi, yang notabene belum genap dua tahun memimpin, reshuffle sudah dua kali terjadi. Akhirnya, kata ini berubah nilai
rasanya. Sejak awal bernilai positif, kini reshuffle
berasosiasi negatif. Menurun dan melemah. Kesan reshuffle untuk memperbaiki kondisi kabinet, tetapi sekarang yang muncul
ialah mengakomodasi kepentingan politik. Mengapa reshuffle terjadi di saat partai satu demi satu merapat ke Jokowi?
Kata
kedua berintegritas rendah ialah bertanggung
jawab. Integritas kata nan elok itu harus dipertanyakan setelah
berkali-kali berita menyebut ‘IS bertanggung
jawab’ terkait penembakan, peledakan, dan pengeboman. Tentu kita
bertanya-tanya tanggung jawab apa? Kalau memang kelompok itu bertanggung jawab,
tentu saja mulai penyelamatan korban, pengobatan, hingga penyerahan diri akan dilakukan
oleh IS. Dari beribu korban bergelimpangan, tidak ada satu pun mendapat
santunan dari IS. Namun, nyatanya mereka
hanya mengklaim, mengaku, atau menantang bahwa mereka yang melakukan. Itu artinya
bukan bertanggung jawab, bukan? Itu sekadar pernyataan bahwa mereka masih
eksis.
Apakah
masih ada kata yang berintegritas rendah? Sebut sajalah frasa tanpa syarat, kata standar, rata-rata, dan rapat. Untuk gabungan kata tanpa
syarat, kita tentu mafhum. Frasa itu menguat sejak Jokowi menerima dukungan
dari partai politik bahwa itu tanpa syarat. Secara awam dimaknai bahwa partai
tidak menerima imbalan apa pun dari dukungan itu.
Sejak
awal frasa itu menarik dan menggelitik. Politik yang berorientasi kekuasaan
akhirnya diserahkan tanpa syarat. Benarkah?
Waktu pun menjawabnya. Tidak ada yang tanpa syarat. Semua bersyarat. Rupa-rupa
istana menggiurkan, bukan?
Berikutnya
kata standar. Bila mendengar dialog
‘barang itu standar’, yang tebersit di benak bahwa kata itu membawa pesan ‘buruk,
kurang berkualitas, atau biasa-biasa saja’. Padahal, kalau saja mengikuti
konteks kalimat ‘kegiatan itu harus berdasarkan standar’, itu tentu mengesankan
keharusan dan kepositifan.
Pelemahan
integritas kata-kata itu tidak terlepas dari konteks, waktu, dan perujukan
makna. Kata yang awalnya bernada positif bisa tergeser menjadi negatif hanya
karena merujuk referen dan konteks yang mengecewakan dan menyakitkan. Sebagai
contoh, betapa kata PKI yang sudah
dipersepsi negatif tidak mudah lepas dari ingatan dan kesan buruk. Begitu pun
kata Jepang dan Belanda tidak akan lepas dari kesan penjajah Indonesia. Tak lain
dan tak bukan bahwa integritas kata mencari rujukan, menggali kesan, dan
mengurai pesan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar