Jumat, 30 September 2016

Integritas Reshuffle




Selama 20  tahun lebih memori saya mengingat penjelasan dosen linguistik umum bahwa kata asing reshuffle, de jure, dan de facto tidak boleh diserap ke dalam bahasa Indonesia. Alasannya karena itu merupakan kata bidang ketatanegaraan atau hukum yang berlaku secara universal. Kata-kata sejenis itu hanya bisa dipadankan dengan kata Indonesia. Kata perombakan dan penggantian dianggap sepadan dengan kata reshuffle. Untuk kata de jure diberi padanan frasa sesuai dengan hukum atau berdasarkan hukum. Kata-kata asing itu tidak boleh diserap serampangan, misalnya menjadi resafel, dejur, atau defakta. Penyerapan itu akan dianggap salah dan semena.
                Selama itu pula saya menganggap kata itu berintegritas dan bernilai rasa positif. Penggunaannya pun khusus. Terbatas dan spesifik. Kata reshuffle hanya digunakan dalam bidang ketatanegaraan. Paling-paling dipakai sekali dalam lima tahun kepemimpinan presiden. Bahkan sepanjang masa Orde Baru kata itu tidak digunakan. Itu berarti tidak ada penggantian menteri di tengah jalan.
                Di era Jokowi, yang notabene belum genap dua tahun memimpin, reshuffle sudah dua kali terjadi. Akhirnya, kata ini berubah nilai rasanya. Sejak awal bernilai positif, kini reshuffle berasosiasi negatif. Menurun dan melemah. Kesan reshuffle untuk memperbaiki kondisi kabinet, tetapi sekarang yang muncul ialah mengakomodasi kepentingan politik. Mengapa reshuffle terjadi di saat partai satu demi satu merapat ke Jokowi?
                Kata kedua berintegritas rendah ialah bertanggung jawab. Integritas kata nan elok itu harus dipertanyakan setelah berkali-kali berita menyebut ‘IS bertanggung jawab’ terkait penembakan, peledakan, dan pengeboman. Tentu kita bertanya-tanya tanggung jawab apa? Kalau memang kelompok itu bertanggung jawab, tentu saja mulai penyelamatan korban, pengobatan, hingga penyerahan diri akan dilakukan oleh IS. Dari beribu korban bergelimpangan, tidak ada satu pun mendapat santunan dari IS.  Namun, nyatanya mereka hanya mengklaim, mengaku, atau menantang bahwa mereka yang melakukan. Itu artinya bukan bertanggung jawab, bukan? Itu sekadar pernyataan bahwa mereka masih eksis.
                Apakah masih ada kata yang berintegritas rendah? Sebut sajalah frasa tanpa syarat, kata standar, rata-rata, dan rapat. Untuk gabungan kata tanpa syarat, kita tentu mafhum. Frasa itu menguat sejak Jokowi menerima dukungan dari partai politik bahwa itu tanpa syarat. Secara awam dimaknai bahwa partai tidak menerima imbalan apa pun dari dukungan itu.
                Sejak awal frasa itu menarik dan menggelitik. Politik yang berorientasi kekuasaan akhirnya diserahkan tanpa syarat. Benarkah? Waktu pun menjawabnya. Tidak ada yang tanpa syarat. Semua bersyarat. Rupa-rupa istana menggiurkan, bukan?
                Berikutnya kata standar. Bila mendengar dialog ‘barang itu standar’, yang tebersit di benak bahwa kata itu membawa pesan ‘buruk, kurang berkualitas, atau biasa-biasa saja’. Padahal, kalau saja mengikuti konteks kalimat ‘kegiatan itu harus berdasarkan standar’, itu tentu mengesankan keharusan dan kepositifan.
                Pelemahan integritas kata-kata itu tidak terlepas dari konteks, waktu, dan perujukan makna. Kata yang awalnya bernada positif bisa tergeser menjadi negatif hanya karena merujuk referen dan konteks yang mengecewakan dan menyakitkan. Sebagai contoh, betapa kata PKI yang sudah dipersepsi negatif tidak mudah lepas dari ingatan dan kesan buruk. Begitu pun kata Jepang dan Belanda tidak akan lepas dari kesan penjajah Indonesia. Tak lain dan tak bukan bahwa integritas kata mencari rujukan, menggali kesan, dan mengurai pesan. 
               


Tidak ada komentar:

Posting Komentar