Apa yang
terlintas di pikiran saat membaca kata merah putih? Yang lazim tentu saja merah
putih berkaitan dengan warna bendera negara kita, Indonesia. Ada juga yang
terpikir lalu menyebut merah dengan makna ‘berani’, sedangkan putih dengan
makna ‘kesucian’. Begitu pula ketika kedua kata itu disematkan pada tim sepak
bola negara ini, yakni ‘timnas merah putih’, atau tim bulu tangkis. Sanding
kata pada timnas merah putih itu berkait dengan ‘perjuangan untuk mengharumkan
nama bangsa, berjuang sekuat tenaga, dan tentu tim yang bermental pemenang’.
Bisa juga kata merah putih berkait dengan ‘kemerdekaan RI, tanggal 17 Agustus,
dan sang proklamator Soekarno-Hatta’.
Dari sekelumit
kolokasi kata di atas, tersirat bahwa merah putih memiliki sandingan leksikal
yang positif dalam sejarah heroik bagi bangsa ini. Karena makna positif itu
pulalah, kata merah putih sering dirujuk untuk nama tim olahraga, nama
organisasi, dan bahkan nama koalisi partai. Namun, apakah unsur nama koalisi partai yang saat ini di DPR
RI, yakni Koalisi Merah Putih, masih bersanding kata dengan uraian di atas?
Tentu saja muncul nuansa makna yang berbeda.
Kata merah putih
pada Koalisi Merah Putih tidak lagi bersanding lurus dengan kata ‘berani, suci,
dan berjuang sekuat tenaga (untuk rakyat Indonesia)’. Namun sebaliknya, kata
Koalisi Merah Putih (KMP) memunculkan kolokasi kata baru dan berbeda, yakni ‘koalisi
dengan jumlah anggota terbanyak, menduduki semua jabatan ketua/wakil ketua
DPR/MPR, serta mendominasi ketua fraksi dan alat kelengkapan DPR’. Di samping
itu, kata Koalisi Merah Putih menyiratkan partai ‘sebagai oposisi’, ‘sebagai penyeimbang
pemerintah’, dan ‘gabungan partai yang kalah dalam Pilpres 2014, yakni
Gerindra, Golkar, PKS, PAN, dan PBB'.
Tentu itu
sanding kata yang positif, bukan? Namun,
bagaimana dengan kolokasi berikut. Bisa saja rakyat menyematkan kolokasi
baru pada Koalisi Merah Putih, yakni sebagai ‘koalisi yang haus kekuasaan’, ‘mengakali
UUMPR, DPR, dan DPD’, serta 'bagi-bagi kursi pimpinan DPR/MPR
kepada partai anggota koalisi'.
Pergeseran
sanding kata juga terjadi pada kata DPR. Bila dulu DPR berkolokasi dengan
'wakil rakyat, 'dewan terhormat, cerdas, warga negara pilihan, penentu
kebijakan negara, pembuat undang-undang, dan lain sebagainya', kini muncul
anggapan baru yang antitesis. Sudah banyak yang menyebut DPR sebagai siswa taman
kanak-kanak, tukang koruptor, tukang tidur di saat sidang, dan sederet kata
lain yang berantonimi dengan banyak harapan rakyat.
Perubahan
sanding kata di atas berbanding lurus dengan perilaku atau kesan dari yang
diwakili kata itu. Bila kata bunga berkolokasi dengan kata 'tanaman indah,
harum, semerbak, dan sedap dipandang', tentu karena bunga hadir dengan realitas
sedemikian. Tidak pernah bunga berkolokasi dengan kata 'kejam, kasar, atau
dengan kata lain yang bukan sandingannya'.
Sebaliknya, bila
DPR disebut taman kanak-kanak, tentu ada realitas yang mengarahkan kolokasi
kata tersebut. Lihat saja saat sidang perdana anggota dewan periode 2014-2019
belum lama ini. Pun kemunculan DPR tandingan yang juga belum juga berakhir.
Sungguh ini semua akan menumbuhkan referen baru pada kata DPR RI, yakni
kolokasi negatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar