Jumat, 28 Oktober 2016

Kolokasi Merah Putih



Apa yang terlintas di pikiran saat membaca kata merah putih? Yang lazim tentu saja merah putih berkaitan dengan warna bendera negara kita, Indonesia. Ada juga yang terpikir lalu menyebut merah dengan makna ‘berani’, sedangkan putih dengan makna ‘kesucian’. Begitu pula ketika kedua kata itu disematkan pada tim sepak bola negara ini, yakni ‘timnas merah putih’, atau tim bulu tangkis. Sanding kata pada timnas merah putih itu berkait dengan ‘perjuangan untuk mengharumkan nama bangsa, berjuang sekuat tenaga, dan tentu tim yang bermental pemenang’. Bisa juga kata merah putih berkait dengan ‘kemerdekaan RI, tanggal 17 Agustus, dan sang proklamator Soekarno-Hatta’.
Dari sekelumit kolokasi kata di atas, tersirat bahwa merah putih memiliki sandingan leksikal yang positif dalam sejarah heroik bagi bangsa ini. Karena makna positif itu pulalah, kata merah putih sering dirujuk untuk nama tim olahraga, nama organisasi, dan bahkan nama koalisi partai. Namun, apakah  unsur nama koalisi partai yang saat ini di DPR RI, yakni Koalisi Merah Putih, masih bersanding kata dengan uraian di atas? Tentu saja muncul nuansa makna yang berbeda.
Kata merah putih pada Koalisi Merah Putih tidak lagi bersanding lurus dengan kata ‘berani, suci, dan berjuang sekuat tenaga (untuk rakyat Indonesia)’. Namun sebaliknya, kata Koalisi Merah Putih (KMP) memunculkan kolokasi kata baru dan berbeda, yakni ‘koalisi dengan jumlah anggota terbanyak, menduduki semua jabatan ketua/wakil ketua DPR/MPR, serta mendominasi ketua fraksi dan alat kelengkapan DPR’. Di samping itu, kata Koalisi Merah Putih menyiratkan partai  ‘sebagai oposisi’, ‘sebagai penyeimbang pemerintah’, dan ‘gabungan partai yang kalah dalam Pilpres 2014, yakni Gerindra, Golkar, PKS, PAN, dan PBB'.
Tentu itu sanding kata yang positif, bukan? Namun,  bagaimana dengan kolokasi berikut. Bisa saja rakyat menyematkan kolokasi baru pada Koalisi Merah Putih, yakni  sebagai ‘koalisi yang haus kekuasaan’, ‘mengakali UUMPR, DPR, dan DPD’, serta 'bagi-bagi kursi pimpinan DPR/MPR kepada partai anggota koalisi'.
Pergeseran sanding kata juga terjadi pada kata DPR. Bila dulu DPR berkolokasi dengan 'wakil rakyat, 'dewan terhormat, cerdas, warga negara pilihan, penentu kebijakan negara, pembuat undang-undang, dan lain sebagainya', kini muncul anggapan baru yang antitesis. Sudah banyak yang menyebut DPR sebagai siswa taman kanak-kanak, tukang koruptor, tukang tidur di saat sidang, dan sederet kata lain yang berantonimi dengan banyak harapan rakyat.
Perubahan sanding kata di atas berbanding lurus dengan perilaku atau kesan dari yang diwakili kata itu. Bila kata bunga berkolokasi dengan kata 'tanaman indah, harum, semerbak, dan sedap dipandang', tentu karena bunga hadir dengan realitas sedemikian. Tidak pernah bunga berkolokasi dengan kata 'kejam, kasar, atau dengan kata lain yang bukan sandingannya'.
Sebaliknya, bila DPR disebut taman kanak-kanak, tentu ada realitas yang mengarahkan kolokasi kata tersebut. Lihat saja saat sidang perdana anggota dewan periode 2014-2019 belum lama ini. Pun kemunculan DPR tandingan yang juga belum juga berakhir. Sungguh ini semua akan menumbuhkan referen baru pada kata DPR RI, yakni kolokasi negatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar