Jumat, 28 Oktober 2016

Sabar



Pemeo lama mengatakan ‘sabar gambang diucapkan, tetapi teramat sulit dijalankan’. Ungkapan itu sekaligus menjadi proposisi umum yang mewakili sebagian besar manusia di atas bumi ini.  Hanya orang-orang tertentu yang bisa berlaku sabar. Secara kuantitas, mereka itu kelompok kecil. Sebut saja pemuka agama yang selalu mampu menjalani hidup dengan kesabaran.
                Apa sejatinya kata sabar? Secara etimologi, kata sabar diserap dari bahasa Arab: sabr yang berarti ‘mencegah atau menahan diri’. Pengertian ini berbeda 180 derajat bila merujuk lema sabar di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata sabar itu dimaknai ‘tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati), tabah’.
                Dari dua arti kata sabar di atas, seakan menjadi kontras definisi leksikal yang akan sulit ditemupadankan. Sabr yang berarti ‘mencegah atau menahan diri’ merupakan sikap atau perbuatan mental yang disampaikan sebelum seseorang bertindak dan menapak lebih jauh. Sabar seperti ini berfungsi sebagai alarm atau pengingat bagi seseorang, apa pun bidang pekerjaan dan situasinya.  Dalam konteks ini, semua risiko atau impak dari perbuatan yang akan dilakukan sudah dikalkulasikan dan dihitung konsekuensinya.
                Bila dicerminkan dalam kehidupan saat ini, makna sabr (yang bermakna ‘menahan atau mencegah’) tentu akan banyak mengurangi sesi negatif masalah sosial di masyarakat. Sebagai contoh, ketika seseorang dilantik sebagai kepala pemerintahan, keluarga atau teman dekat sudah mengingatkan bahwa pejabat itu harus bersabar menjalankan fungsi jabatannya, sabar dari banyak cobaan: sabar dari korupsi, sabar dari pengaruh negatif pergaulan, sabar dari sogokan, sabar dari me-mark up anggaran. Pengingat di awal seperti ini akan membuka mata batin dan sesi kemanusian sang pejabat.
                Akan tetapi, hal sebaliknya justru terjadi. Saat keluarga, kerabat, atau teman dekat dipromosikan menduduki suatu jabatan--bisa juga sebagai kepala daerah--kita seakan orang pertama yang menyanjungnya: kauhebat, enggak ada orang sehebat lho, kariermu memang top, tak kusangka kaumeraih jabatan setinggi ini, dan masih banyak lagi ucapan euforia itu. Sanjungan inilah yang melunturkan dan bahkan menghilangkan kesabaran seseorang, lalu lupa diri, dan menyia-yiakan amanah dan tanggung jawab itu.
                Sebaliknya, pengertian sabar dari KBBI hanya disampaikan pada persona yang sudah tersandung masalah, bukan mencegah melakukan masalah. Tak jarang di saat keluarga dekat, kerabat, dan teman terbelit masalah moral, seperti korupsi, manipulasi anggaran, dan tindakan asusila, kita baru mengatakan, “Sabar ya, hadapi dengan tenang dan tegar, semuanya akan berlalu, dan lain sebagainya.”
                Sungguh ironi, ketika seseorang sudah menjalani proses hukum atau bahkan divonis penjara, kata sabar baru kita ucapkan. Entah sebagai simpati, toleransi, atau sekadar basa-basi. Ini tentu tidak banyak memberi manfaat lagi, karena sesungguhnya nasi sudah menjadi bubur. Kata sabar yang kita sampaikan tak ubahnya hanya ucapan ‘selamat menjalani hukuman dengan sabar’.
                 
Sebagai catatan terakhir, sabar sejatinya dimaknai sebagai kondisi mental yang disampaikan sebelum atau minimal saat keluarga dekat, kerabat, dan sahabat menerima jabatan, memulai, atau melakukan bisnis. Bukan setelah mereka terbelit masalah, diproses di pengadilan, atau menjalani hukuman. Sabar harus dimaknai sebagai sebab dari perbuatan, bukan sebagai akibat dari perbuatan itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar