Pemeo lama mengatakan
‘sabar gambang diucapkan, tetapi teramat sulit dijalankan’. Ungkapan itu sekaligus
menjadi proposisi umum yang mewakili sebagian besar manusia di atas bumi ini. Hanya orang-orang tertentu yang bisa berlaku
sabar. Secara kuantitas, mereka itu kelompok kecil. Sebut saja pemuka agama
yang selalu mampu menjalani hidup dengan kesabaran.
Apa sejatinya kata sabar? Secara
etimologi, kata sabar diserap dari bahasa Arab: sabr yang berarti ‘mencegah atau menahan diri’. Pengertian ini berbeda
180 derajat bila merujuk lema sabar di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata sabar itu dimaknai ‘tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah,
tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati), tabah’.
Dari dua arti kata sabar di
atas, seakan menjadi kontras definisi leksikal yang akan sulit ditemupadankan. Sabr yang berarti ‘mencegah atau menahan
diri’ merupakan sikap atau perbuatan mental yang disampaikan sebelum seseorang bertindak
dan menapak lebih jauh. Sabar seperti ini berfungsi sebagai alarm atau
pengingat bagi seseorang, apa pun bidang pekerjaan dan situasinya. Dalam konteks ini, semua risiko atau impak
dari perbuatan yang akan dilakukan sudah dikalkulasikan dan dihitung konsekuensinya.
Bila dicerminkan dalam kehidupan
saat ini, makna sabr (yang bermakna ‘menahan
atau mencegah’) tentu akan banyak mengurangi sesi negatif masalah sosial di masyarakat.
Sebagai contoh, ketika seseorang dilantik sebagai kepala pemerintahan, keluarga
atau teman dekat sudah mengingatkan bahwa pejabat itu harus bersabar menjalankan
fungsi jabatannya, sabar dari banyak cobaan: sabar dari korupsi, sabar dari pengaruh negatif pergaulan, sabar dari
sogokan, sabar dari me-mark up anggaran. Pengingat di awal seperti ini akan
membuka mata batin dan sesi kemanusian sang pejabat.
Akan tetapi, hal sebaliknya
justru terjadi. Saat keluarga, kerabat, atau teman dekat dipromosikan menduduki
suatu jabatan--bisa juga sebagai kepala daerah--kita seakan orang pertama yang
menyanjungnya: kauhebat, enggak ada orang
sehebat lho, kariermu memang top, tak kusangka kaumeraih jabatan setinggi ini, dan
masih banyak lagi ucapan euforia itu. Sanjungan inilah yang melunturkan dan
bahkan menghilangkan kesabaran seseorang, lalu lupa diri, dan menyia-yiakan
amanah dan tanggung jawab itu.
Sebaliknya, pengertian sabar
dari KBBI hanya disampaikan pada
persona yang sudah tersandung masalah, bukan mencegah melakukan masalah. Tak
jarang di saat keluarga dekat, kerabat, dan teman terbelit masalah moral,
seperti korupsi, manipulasi anggaran, dan tindakan asusila, kita baru
mengatakan, “Sabar ya, hadapi dengan tenang
dan tegar, semuanya akan berlalu, dan lain sebagainya.”
Sungguh ironi, ketika seseorang
sudah menjalani proses hukum atau bahkan divonis penjara, kata sabar baru kita
ucapkan. Entah sebagai simpati, toleransi, atau sekadar basa-basi. Ini tentu
tidak banyak memberi manfaat lagi, karena sesungguhnya nasi sudah menjadi
bubur. Kata sabar yang kita sampaikan tak ubahnya hanya ucapan ‘selamat
menjalani hukuman dengan sabar’.
Sebagai catatan terakhir, sabar sejatinya dimaknai sebagai kondisi
mental yang disampaikan sebelum atau minimal saat keluarga dekat, kerabat, dan
sahabat menerima jabatan, memulai, atau melakukan bisnis. Bukan setelah mereka terbelit
masalah, diproses di pengadilan, atau menjalani hukuman. Sabar harus dimaknai
sebagai sebab dari perbuatan, bukan sebagai akibat dari perbuatan itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar