Jumat, 28 Oktober 2016

Logika Memenangkan



Selama ini, adatnya, ragam berita surat kabar berbahasa Indonesia senantiasa bersangkut-paut dengan kelengkapan komponen berita (apa, siapa, kapan, mengapa, di mana, berapa, bagaimana) dan bagaimana semua itu disajikan (objektif, jujur, ringkas, padat). Pemakaian bahasa pada rubrik berita memperhatikan prinsip kehematan, keindahan, koherensi, dan kekhasannya sebagai sebuah ragam bahasa. Namun, bahwa berita harus disajikan secara berlogika belum mendapat aksentuasi. Contohnya saja, penggunaan kata memenangkan atau memenangi dalam penulisan berita sering mengakibatkan terjadinya malalogika.

Simak saja kalimat (1) Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri telah meminta semua mesin partai dan relawan fokus memenangkan pemilu presiden dengan beberapa provinsi menjadi prioritas utama dan (2) Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo mengungkapkan strategi Jokowi-Jusuf Kalla (JK) untuk memenangkan pilpres di waktu yang mepet, yakni menggiatkan terus blusukan.
Kalau dikembalikan pada kalimat kalimat (1) dan (2) di atas. Tentu saja yang menang bukanlah Tim Jokowi-JK, melainkan (yang menang) kata pilpres. Dalam konteks ini, dimaknai bahwa Jokowi-JK seperti (ikhlas) memberikan kemenangan kepada pilpres. Tentu itu tidak berlogika, bukan? Sebetulnya yang hendak disampaikan dari kalimat sederhana itu: baik kalimat (1) maupun kalimat (2), Jokowi-JK memenangi pilpres.
Segi-segi logika afiksasi me-N/-kan dan me-N/-i yang lain terlihat pula pada kata mengharapkan, menugaskan (atau menugasi) , serta membawahkan (atau membawahi). Dalam tiga kalimat berikut kata-kata itu digunakan: KPU mengharapkan agar kedua capres menghindari kampanye hitam, Kapolri menugaskan jajarannya untuk mengungkap kampanye hitam, dan Ketua tim koalisi membawahi beberapa relawan.
Dari kalimat pertama, KPU mengharapkan agar kedua capres menghindari kampanye hitam, ketidakberlogikaan terjadi karena struktur kalimat yang salah. Sejatinya, verba mengharapkan menghendaki kehadiran objek kalimat, bukan keterangan seperti contoh ini. Karena itu, sebagai perbaikan, kata hubung (preposisi) agar harus dihilangkan sehingga menjadi kalimat efektif: KPU mengharapkan kedua capres menghindari kampanye hitam.
Pada kalimat kedua, Kapolri menugaskan jajaran untuk mengungkap kampanye hitam. Lagi-lagi, dalam struktur ini verba (predikat) menugaskan menghendaki kehadiran objek yang ditugaskan, bukan objek yang menjalankan tugas, seperti itu. Seharusnya kalimat yang dikendaki, Kapolri menugaskan pengungkapan kampanye hitam kepada jajaran atau Kapolri menugasi jajarannya untuk mengungkap kampanye hitam. Verba menugasi menghendaki kehadiran persona (jajarannya) dan pronomina, sedangkan verba menugaskan menghendaki objek selain kedua itu.
Kalimat ketiga, Ketua tim koalisi membawahi beberapa relawan. Ketidakberlogikanya kalimat itu disebabkan pemakaian verba membawahi yang notabene berarti bahwa yang berperan sebagai atasan ialah beberapa relawan, bukan sang ketua tim koalisi. Padahal sejatinya, kalimat itu ingin menginformasikan yang sebaliknya, ketua tim koalisi atasannya dan beberapa relawan sebagai bawahannya. Tentu kalimat yang berlogika akan tampak pada Ketua tim koalisi membawahkan beberapa relawan.
Sebagai catatan penutup, dari kesalahan penggunaan afiksasi me-N/-kan dan me-N/-i di atas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa struktur kalimat dan wacana dalam media massa lebih menekankan pada aspek ketersampaian informasi kepada khalayak dan cenderung mengabaikan aspek logika bahasa (baik kata maupun kalimat). Padahal, kemiskinan dalam logika struktur dan kohesi gramatikal akan menghilangkan pengungkapan informasi yang bernalar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar