Selama ini, adatnya, ragam berita surat kabar
berbahasa Indonesia senantiasa bersangkut-paut dengan kelengkapan komponen
berita (apa, siapa, kapan, mengapa, di mana, berapa, bagaimana) dan bagaimana
semua itu disajikan (objektif, jujur, ringkas, padat). Pemakaian bahasa pada
rubrik berita memperhatikan prinsip
kehematan, keindahan, koherensi, dan kekhasannya sebagai sebuah ragam bahasa. Namun,
bahwa berita harus disajikan secara berlogika belum mendapat aksentuasi.
Contohnya saja, penggunaan kata memenangkan
atau memenangi dalam penulisan
berita sering mengakibatkan terjadinya malalogika.
Simak saja kalimat (1) Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri telah
meminta semua mesin partai dan relawan fokus memenangkan pemilu presiden dengan
beberapa provinsi menjadi prioritas utama dan (2) Sekjen
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Tjahjo Kumolo mengungkapkan
strategi Jokowi-Jusuf Kalla (JK) untuk memenangkan pilpres di waktu yang mepet,
yakni menggiatkan terus blusukan.
Kalau
dikembalikan pada kalimat kalimat (1)
dan (2) di atas. Tentu saja yang
menang bukanlah Tim Jokowi-JK, melainkan (yang menang) kata pilpres. Dalam konteks ini, dimaknai
bahwa Jokowi-JK seperti (ikhlas) memberikan kemenangan kepada pilpres. Tentu itu tidak berlogika,
bukan? Sebetulnya yang hendak disampaikan dari kalimat sederhana itu: baik kalimat
(1) maupun kalimat (2), Jokowi-JK memenangi pilpres.
Segi-segi
logika afiksasi me-N/-kan dan me-N/-i yang lain terlihat pula pada
kata mengharapkan, menugaskan (atau menugasi) , serta membawahkan (atau membawahi).
Dalam tiga kalimat berikut kata-kata itu digunakan: KPU mengharapkan agar kedua capres menghindari kampanye hitam, Kapolri
menugaskan jajarannya untuk mengungkap kampanye hitam, dan Ketua tim koalisi membawahi
beberapa relawan.
Dari
kalimat pertama, KPU mengharapkan agar
kedua capres menghindari kampanye hitam, ketidakberlogikaan terjadi karena
struktur kalimat yang salah. Sejatinya, verba mengharapkan menghendaki kehadiran objek kalimat, bukan keterangan
seperti contoh ini. Karena itu, sebagai perbaikan, kata hubung (preposisi) agar harus dihilangkan sehingga menjadi
kalimat efektif: KPU mengharapkan kedua
capres menghindari kampanye hitam.
Pada
kalimat kedua, Kapolri menugaskan jajaran
untuk mengungkap kampanye hitam. Lagi-lagi, dalam struktur ini verba (predikat)
menugaskan menghendaki kehadiran
objek yang ditugaskan, bukan objek yang menjalankan tugas, seperti itu. Seharusnya
kalimat yang dikendaki, Kapolri
menugaskan pengungkapan kampanye hitam kepada jajaran atau Kapolri menugasi jajarannya untuk mengungkap
kampanye hitam. Verba menugasi
menghendaki kehadiran persona (jajarannya) dan pronomina, sedangkan verba menugaskan menghendaki objek selain
kedua itu.
Kalimat
ketiga, Ketua tim koalisi membawahi
beberapa relawan. Ketidakberlogikanya kalimat itu disebabkan pemakaian
verba membawahi yang notabene berarti
bahwa yang berperan sebagai atasan ialah beberapa
relawan, bukan sang ketua tim koalisi.
Padahal sejatinya, kalimat itu ingin menginformasikan yang sebaliknya, ketua tim koalisi atasannya dan beberapa relawan sebagai bawahannya. Tentu
kalimat yang berlogika akan tampak pada Ketua
tim koalisi membawahkan beberapa relawan.
Sebagai
catatan penutup, dari kesalahan penggunaan afiksasi me-N/-kan dan me-N/-i di
atas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa struktur kalimat dan wacana dalam
media massa lebih menekankan pada aspek ketersampaian informasi kepada khalayak
dan cenderung mengabaikan aspek logika bahasa (baik kata maupun kalimat). Padahal,
kemiskinan dalam logika struktur dan kohesi gramatikal akan menghilangkan
pengungkapan informasi yang bernalar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar