Jumat, 28 Oktober 2016

Relevansi Ungkapan



Bahasa ungkapan sering kali berjarak dengan yang diungkapkan. Walau bersifat khusus, ungkapan sering saja mengaburkan arti.  Susah dirunut dari unsur kata pembentuknya. Sebut saja ungkapan ‘jauh panggang dari api’. Bagi yang sudah mengetahui sebelumnya, tentu saja tidak kesulitan memahami ungkapan itu. Namun, bagaimana bagi yang tidak memahami? Tentu saja membingungkan dan menyulitkan. Siapa sangka bila artinya bahwa kenyataan jauh dari yang diharapkan. Seperti dalam kalimat Sidang MKD jauh panggang dari api.
Di sisi lain, ungkapan seperti di atas menjadi diksi tambahan yang menarik bila disisipkan dalam tulisan. Selain unik, ungkapan itu lebih mengena dan tentu saja mewakili konsep yang hendak disampaikan. Misalnya saja, saat menyindir sikap Mahkamah Kehormatan Dewan dalam sidang Setya Novanto. Tentu saja harapan rakyat jauh berbeda dengan sikap dewan terhormat itu sehingga diwakili oleh ungkapan Sidang MKD jauh panggang dari api.
Bila diurai secara makna, jauh panggang dari api menganalogikan bara api (baca: pemanggangan) berbeda tempat atau letak dengan objek yang dipanggang (sebut saja ikan). Kondisi ini tentu tidak akan menghasilkan ikan bakar yang enak atau aroma sedap yang menyergap. Bahkan, secara akal sehat tidak akan terjadi pembakaran. Kiasan inilah yang dilinearkan dengan kekecewaan atas harapan yang seharusnya bisa diwujudkan.
Ungkapan seperti di atas masih relevan karena memang mungkin untuk dikaitkan dan dipahami. Namun, bagaimana dengan ungkapan pintu belakang dan berkantong tebal? Karena faktor perubahan, baik perubahan karena faktor alam maupun teknologi, kedua ungkapan itu memiliki referen yang sudah tidak relevan dengan arti.
Ungkapan pintu belakang dikiaskan untuk sikap atau tindakan tidak terpuji karena yang dilakukan tidak sesuai aturan (tidak sah). Dalam konteks ‘papa minta saham’, pemukatan jahat Novanto cs mengiaskan tindakan lewat pintu belakang: tidak sah, sembarang.
Yang menjadi soal, referensi kata pintu belakang tidak banyak berkorelasi dengan bangunan yang disebut rumah. Yang kita tahu, banyak rumah (utamanya di kota besar) tidak memiliki pintu belakang, karena tersusun secara berlonggok (cluster). Yang ada justru pintu samping (bila yang menginginkan dua pintu keluar-masuk). Ini semata rumah-rumah di kompleks saling membelakangi, satu sama lain menghadap ke jalan raya. Lebih tepatnya karena alasan keterbatasan lahan, rumah sulit memiliki pintu belakang, apalagi taman yang memadai.
Mungkin saja ungkapan pintu belakang dianalogikan dengan hal-hal yang tidak elegan, curang, dan pecundang karena sejatinya lebih terhormat memelalui pintu utama, yakni pintu depan, sehingga sah, legal, dan terhormat.
Begitu pula dengan ungkapan berkantong tebal. Dahulunya, ungkapan ini untuk mencirikan orang yang memiliki harga (baca: uang) yang banyak. Ketebalan kantong di dalam saku celana belakang (bagi pria) menjadi tanda bahwa orang itu kaya. Akan tetapi, setelah kemajuan teknologi, yakni beralih ke ATM (anjungan tunai mandiri alias automatic teller machine) atau kartu kredit, identitas pria berkantong tebal tidak menjadi relevan. Dengan satu kartu yang pipih, tipis, bermiliar uang bisa ditampung. Mudah dan gampang, di mana pun bisa dilakukan transaksi. Tidak ada kesan tebal sama sekali, kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar