Bahasa ungkapan sering
kali berjarak dengan yang diungkapkan. Walau bersifat khusus, ungkapan sering saja
mengaburkan arti. Susah dirunut dari
unsur kata pembentuknya. Sebut saja ungkapan ‘jauh panggang dari api’. Bagi
yang sudah mengetahui sebelumnya, tentu saja tidak kesulitan memahami ungkapan
itu. Namun, bagaimana bagi yang tidak memahami? Tentu saja membingungkan dan
menyulitkan. Siapa sangka bila artinya bahwa kenyataan jauh dari yang
diharapkan. Seperti dalam kalimat Sidang
MKD jauh panggang dari api.
Di sisi lain, ungkapan seperti di atas menjadi diksi tambahan yang
menarik bila disisipkan dalam tulisan. Selain unik, ungkapan itu lebih mengena dan
tentu saja mewakili konsep yang hendak disampaikan. Misalnya saja, saat
menyindir sikap Mahkamah Kehormatan Dewan dalam sidang Setya Novanto. Tentu
saja harapan rakyat jauh berbeda dengan sikap dewan terhormat itu sehingga
diwakili oleh ungkapan Sidang MKD jauh
panggang dari api.
Bila diurai secara makna, jauh
panggang dari api menganalogikan bara
api (baca: pemanggangan) berbeda tempat atau letak dengan objek yang dipanggang
(sebut saja ikan). Kondisi ini tentu tidak akan menghasilkan ikan bakar yang
enak atau aroma sedap yang menyergap. Bahkan, secara akal sehat tidak akan
terjadi pembakaran. Kiasan inilah yang dilinearkan dengan kekecewaan atas
harapan yang seharusnya bisa diwujudkan.
Ungkapan seperti di atas masih relevan karena memang mungkin untuk
dikaitkan dan dipahami. Namun, bagaimana dengan ungkapan pintu belakang dan berkantong
tebal? Karena faktor perubahan, baik perubahan karena faktor alam maupun
teknologi, kedua ungkapan itu memiliki referen yang sudah tidak relevan dengan
arti.
Ungkapan pintu belakang
dikiaskan untuk sikap atau tindakan tidak terpuji karena yang dilakukan tidak
sesuai aturan (tidak sah). Dalam konteks ‘papa minta saham’, pemukatan jahat Novanto
cs mengiaskan tindakan lewat pintu belakang: tidak sah, sembarang.
Yang menjadi soal, referensi kata pintu belakang tidak banyak berkorelasi dengan bangunan yang disebut
rumah. Yang kita tahu, banyak rumah (utamanya di kota besar) tidak memiliki
pintu belakang, karena tersusun secara berlonggok (cluster). Yang ada justru pintu samping (bila yang menginginkan dua
pintu keluar-masuk). Ini semata rumah-rumah di kompleks saling membelakangi,
satu sama lain menghadap ke jalan raya. Lebih tepatnya karena alasan keterbatasan
lahan, rumah sulit memiliki pintu belakang, apalagi taman yang memadai.
Mungkin saja ungkapan pintu belakang dianalogikan dengan hal-hal
yang tidak elegan, curang, dan pecundang karena sejatinya lebih terhormat
memelalui pintu utama, yakni pintu depan, sehingga sah, legal, dan terhormat.
Begitu pula dengan ungkapan berkantong
tebal. Dahulunya, ungkapan ini untuk mencirikan orang yang memiliki harga
(baca: uang) yang banyak. Ketebalan kantong di dalam saku celana belakang (bagi
pria) menjadi tanda bahwa orang itu kaya. Akan tetapi, setelah kemajuan
teknologi, yakni beralih ke ATM (anjungan tunai mandiri alias automatic teller machine) atau kartu
kredit, identitas pria berkantong tebal tidak menjadi relevan. Dengan satu
kartu yang pipih, tipis, bermiliar uang bisa ditampung. Mudah dan gampang, di
mana pun bisa dilakukan transaksi. Tidak ada kesan tebal sama sekali, kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar