Jumat, 28 Oktober 2016

Siapa Pemilik Bahasa (Indonesia)?





Kalau kita mau bicara jujur dan blak-blakan mengenai siapa pemilik sesungguhnya bahasa Indonesia yang sudah berusia 85 tahun ini sejak Sumpah Pemuda, jawabannya dapat dipastikan tidak  akan menyenangkan banyak kalangan. Apalagi, bila indikasinya kemampuan berbahasa, yang punya bahasa Indonesia hanya beberapa gelintir orang . Padahal,  semangat  para pendahulu kita ketika mengikrarkan butir ketiga Sumpah Pemuda ’Menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia’ ialah bahasa Indonesia diharapkan dapat menjadi pemersatu semua suku dan bahasa daerah yang beribu jumlahnya.
Sejalan perkembangan, di awal kemunculan Ejaan Yang Disempurnakan melalui Keputusan Presiden No 57 Tahun 1972, muncul ungkapan ‘Gunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar’. Selain sudah cukup lama, ungkapan ini disosialisasikan melalui berbagai media, tidak hanya melalui TVRI kala itu, tetapi diseminarkan dan dimuat di berbagai spanduk dan pamflet. Tujuannya pun jelas, yakni  penutur tidak sekadar menggunakan bahasa Indonesia, tetapi harus juga diikuti dengan penggunaan bahasa yang baik dan benar. Baik berarti disesuaikan dengan situasi dan kondisi pembicaraan, sedangkan benar sesuai kaidah baku, termasuk kelogisan..
Dari ungkapan di atas muncul pertanyaan, bagaimana hubungan kita, sikap kita, dan keterampilan kita terhadap bahasa Indonesia? Bukankah bahasa Indonesia jauh lebih dulu ada dibandingkan kemerdekan negara ini?
Hubungan itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa bahasa Indonesia bukanlah merupakan bahasa pertama bagi banyak warga negara, terutama yang tinggal di daerah. Intensitas penggunaan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari yang sangat tinggi tentu akan menenggelamkan penguasaan bahasa Indonesia, baik penguasaan kosakata, susunan kalimat efektif, maupun kelogisan berbahasa. Bukankah bahasa yang sering digunakan yang akan dikuasai dengan baik?
Sebaliknya bagi penutur di kota besar, bahasa Indonesia bisa saja menjadi bahasa pertama karena orang tua  (kebetulan) berbahasa Indonesia dalam komunikasi di tengah keluarga.  Namun, pengaruh bahasa gaul (bias bahasa), ragam bahasa tidak baku di kota, atau bahasa asing seperti bahasa Inggris juga tidak kalah buruk memengaruhi pengusaan bahasa Indonesia. Ditambah lagi, sikap kita terhadap bahasa Indonesia tidak terlalu baik dibandingkan terhadap bahasa asing. Misalkan saja, banyak pandangan bahwa bahasa Inggris memilki kosakata yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan bahasa Indonesia, terutama bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada juga yang beralasan bahwa bahasa Indonesia kurang berlogika. Misalnya, banyak mempertanyakan (setengah bercanda) yang benar itu ‘mati lampu’ atau ‘mati listrik’, ‘makan siang’ atau ‘makan nasi di siang hari’.
Alasan itu tidak salah, terutama kosakata di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita memang bukan negara pembuat atau penemu di bidang teknologi. Jadi, wajar saja kosakata banyak dalam bahasa asing (terutama Inggris). Namun, dalam bidang budaya kosakata bahasa Indonesia tidak kalah banyak. Contoh saja, bahasa Inggris hanya mengenal kata rice untuk 'beras', sedangkan kita mengenal kosakata yang banyak dari turunan beras itu.
Dalam hal logika  ‘mati lampu’.  Itu dimaksudkan karena sebenarnya yang terlihat (pertama) mati atau padam ialah lampu (bukan listrik). Walaupun ‘mati lampu’ diawali dengan matinya listrik, tetap saja aliran listrik tidak dapat dilihat. Sebaliknya, logika ‘makan siang’ dimaksudkan bahwa secara waktu aktivitas makan di siang hari, bukan berarti makan benda yang disebutkan siang. Di dalam pragmatis berbahasa, makna di luar konteks dapat dipahami karena adanya kesepahaman antarpenutur.
Sekarang bagaimana keterampilan kita berbahasa Indonesia? Walau tidak disengaja, kelemahan berbahasa itu terjadi pada semua aspek bahasa. Dalam hal kosakata misalnya. Banyak yang bertanya yang baku itu ‘disilahkan’ atau ‘disilakan’, ‘imbau’ atau ‘himbau’, juga ‘kukuh’ atau ‘kokoh’. Tidak banyak pula di antara kita yang dapat mengatakan bahwa ‘disilahkan’, ‘dihimbau, atau ‘kokoh’ itu termasuk kosakata yang salah. Mengapa? Jawabannya ialah kita tidak mempunyai kemampuan dan pengetahuan berbahasa yang cukup sehingga dapat menyalahkan bahasa orang lain. Kita akan selalu ada dalam kebingungan berbahasa. Hal ini dialami oleh hampir semua kalangan: guru, dosen, wartawan, atau siapa pun. Itu terjadi karena ketidakpedulian, tidak bangga, dan sikap negatif terhadap bahasa negara sendiri.
Yang tidak kalah menonjolnya ialah kesalahan logika di dalam sebuah kalimat. Saya yakin kalimat berikut pernah mengusik Anda. Sebagai contohnya kalimat ‘Bagi yang membawa HP harap dimatikan’ dan ‘Para pencari suaka berhasil diselamatkan’. Logika pada contoh (1) yang diminta dimatikan ialah 'orang' bukan 'HP'. Padahal, ide kalimat (1) yang justru diminta dimatikan tentu HP bukan yang membawa HP. Pada contoh (2) yang berhasil ialah para pencari suaka, bukan petugas. Lagi-lagi makna kalimat (2) jauh dari kelogisan kalimat.
Sebagai penutup. Sadarilah bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional memiliki kedudukan dan fungsi yang menjadi pilar-pilar penopang persatuan bangsa ini. Karena itu, merasa membanggakan, merasa mencintai, merasa memiliki, serta merasa harus bertanggung jawab dalam mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional agar berjalan sebagaimana mestinya merupakan sikap positif terhadap bahasa nasional kita. Perlu ditekankan bahwa sikap positif ini sama sekali bukanlah sikap merendahkan bahasa lain untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme pada diri kita. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar