Kalau kita
mau bicara jujur dan blak-blakan mengenai siapa pemilik sesungguhnya bahasa
Indonesia yang sudah berusia 85 tahun ini sejak Sumpah Pemuda, jawabannya dapat
dipastikan tidak akan menyenangkan banyak
kalangan. Apalagi, bila indikasinya kemampuan berbahasa, yang punya bahasa
Indonesia hanya beberapa gelintir orang . Padahal, semangat para pendahulu kita ketika mengikrarkan butir
ketiga Sumpah Pemuda ’Menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia’ ialah
bahasa Indonesia diharapkan dapat menjadi pemersatu semua suku dan bahasa
daerah yang beribu jumlahnya.
Sejalan
perkembangan, di awal kemunculan Ejaan Yang Disempurnakan melalui Keputusan
Presiden No 57 Tahun 1972, muncul ungkapan ‘Gunakan bahasa Indonesia dengan
baik dan benar’. Selain sudah cukup lama, ungkapan ini disosialisasikan melalui
berbagai media, tidak hanya melalui TVRI kala itu, tetapi diseminarkan dan
dimuat di berbagai spanduk dan pamflet. Tujuannya pun jelas, yakni penutur tidak sekadar menggunakan bahasa
Indonesia, tetapi harus juga diikuti dengan penggunaan bahasa yang baik dan
benar. Baik berarti disesuaikan dengan situasi dan kondisi pembicaraan,
sedangkan benar sesuai kaidah baku, termasuk kelogisan..
Dari
ungkapan di atas muncul pertanyaan, bagaimana hubungan kita, sikap kita, dan
keterampilan kita terhadap bahasa Indonesia? Bukankah bahasa Indonesia jauh
lebih dulu ada dibandingkan kemerdekan negara ini?
Hubungan
itu dapat dilihat dari kenyataan bahwa bahasa Indonesia bukanlah merupakan
bahasa pertama bagi banyak warga negara, terutama yang tinggal di daerah.
Intensitas penggunaan bahasa daerah dalam komunikasi sehari-hari yang sangat
tinggi tentu akan menenggelamkan penguasaan bahasa Indonesia, baik penguasaan
kosakata, susunan kalimat efektif, maupun kelogisan berbahasa. Bukankah bahasa
yang sering digunakan yang akan dikuasai dengan baik?
Sebaliknya
bagi penutur di kota besar, bahasa Indonesia bisa saja menjadi bahasa pertama
karena orang tua (kebetulan) berbahasa
Indonesia dalam komunikasi di tengah keluarga. Namun, pengaruh bahasa gaul (bias bahasa),
ragam bahasa tidak baku di kota, atau bahasa asing seperti bahasa Inggris juga
tidak kalah buruk memengaruhi pengusaan bahasa Indonesia. Ditambah lagi, sikap kita
terhadap bahasa Indonesia tidak terlalu baik dibandingkan terhadap bahasa
asing. Misalkan saja, banyak pandangan bahwa bahasa Inggris memilki kosakata
yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan bahasa Indonesia, terutama bidang
ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada juga yang beralasan bahwa bahasa Indonesia
kurang berlogika. Misalnya, banyak mempertanyakan (setengah bercanda) yang
benar itu ‘mati lampu’ atau ‘mati listrik’, ‘makan siang’ atau ‘makan nasi di
siang hari’.
Alasan
itu tidak salah, terutama kosakata di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kita memang bukan negara pembuat atau penemu di bidang teknologi. Jadi, wajar
saja kosakata banyak dalam bahasa asing (terutama Inggris). Namun, dalam bidang
budaya kosakata bahasa Indonesia tidak kalah banyak. Contoh saja, bahasa
Inggris hanya mengenal kata rice
untuk 'beras', sedangkan kita mengenal kosakata yang banyak dari turunan beras
itu.
Dalam
hal logika ‘mati lampu’. Itu dimaksudkan karena sebenarnya yang
terlihat (pertama) mati atau padam ialah lampu (bukan listrik). Walaupun ‘mati
lampu’ diawali dengan matinya listrik, tetap saja aliran listrik tidak dapat
dilihat. Sebaliknya, logika ‘makan siang’ dimaksudkan bahwa secara waktu
aktivitas makan di siang hari, bukan berarti makan benda yang disebutkan siang.
Di dalam pragmatis berbahasa, makna di luar konteks dapat dipahami karena
adanya kesepahaman antarpenutur.
Sekarang
bagaimana keterampilan kita berbahasa Indonesia? Walau tidak disengaja, kelemahan
berbahasa itu terjadi pada semua aspek bahasa. Dalam hal kosakata misalnya. Banyak
yang bertanya yang baku itu ‘disilahkan’ atau ‘disilakan’, ‘imbau’ atau
‘himbau’, juga ‘kukuh’ atau ‘kokoh’. Tidak banyak pula di antara kita yang
dapat mengatakan bahwa ‘disilahkan’, ‘dihimbau, atau ‘kokoh’ itu termasuk
kosakata yang salah. Mengapa? Jawabannya ialah kita tidak mempunyai kemampuan dan
pengetahuan berbahasa yang cukup sehingga dapat menyalahkan bahasa orang lain.
Kita akan selalu ada dalam kebingungan berbahasa. Hal ini dialami oleh hampir
semua kalangan: guru, dosen, wartawan, atau siapa pun. Itu terjadi karena
ketidakpedulian, tidak bangga, dan sikap negatif terhadap bahasa negara sendiri.
Yang
tidak kalah menonjolnya ialah kesalahan logika di dalam sebuah kalimat. Saya
yakin kalimat berikut pernah mengusik Anda. Sebagai contohnya kalimat ‘Bagi
yang membawa HP harap dimatikan’ dan ‘Para pencari suaka berhasil diselamatkan’.
Logika pada contoh (1) yang diminta dimatikan ialah 'orang' bukan 'HP'.
Padahal, ide kalimat (1) yang justru diminta dimatikan tentu HP bukan yang membawa
HP. Pada contoh (2) yang berhasil ialah para pencari suaka, bukan petugas.
Lagi-lagi makna kalimat (2) jauh dari kelogisan kalimat.
Sebagai penutup.
Sadarilah bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional memiliki kedudukan dan
fungsi yang menjadi pilar-pilar penopang persatuan bangsa ini. Karena itu,
merasa membanggakan, merasa mencintai, merasa memiliki, serta merasa harus
bertanggung jawab dalam mempertahankan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional agar berjalan sebagaimana mestinya merupakan sikap
positif terhadap bahasa nasional kita. Perlu ditekankan bahwa sikap positif ini
sama sekali bukanlah sikap merendahkan bahasa lain untuk menumbuhkan jiwa nasionalisme pada diri kita. Semoga!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar