Pesan Ramadan seperti dalam judul
tulisan ini kerap disampaikan, utamanya di penghujung Ramadan. Para uztaz, dai, ataupun orangtua selalu
mengulang kata nan bijak itu agar kita umat muslim bersungguh-sungguh dalam
melaksanakan ibadah di bulan Ramadan. Mungkin
ini bahasa yang ringkas, tetapi sarat dengan makna. Namun, sering pula kata-kata
itu bersalin bentuk, misalnya kata melewatkan, di suatu momen, berganti
melewati, menjalani bertukar menjalankan.
Silih bergantinya imbuhan -kan atau -i ini muncul dalam persepsi
yang bias. Rasanya belum terlalu lama media massa terbebas dari logika kata memenangkan atau memenangi (pertandingan). Di banyak kesempatan, pembawa berita TV
sudah lantang menggunakan kalimat itu dengan tepat. Sebagai misal, kalimat Lecienter City memenangi pertandingan di
Liga Inggris diberitakan TV dan berterima.
Masalah imbuhan seperti di atas
masih dan akan tetap saja terjadi. Lepas dari kata memenangkan dan memenangi,
kini muncul kegagapan antara kata menugasi dan menugaskan, lalu tergelincir
menggunakan kata membawahi dan membawahkan. Nah, sekarang ada lagi kata
menjalani atau menjalankan, melewati atau melewatkan. Lalu mana kata yang
berterima dan berlogika?
Mari kita mulai dari kata
menjalani dan menjalankan. Tertukarnya dua kata ini boleh dibilang
berintensitas tinggi. Pendakwa dan siapa pun sesekali menyebut ‘selamat
menjalankan ibadah puasa’ . Namun, sesekali pula menyebut ‘selamat menjalani
puasa’. Seperti dua sisi mata uang yang terlempar, kita seakan tidak ajek menerima
kemunculan yang benar, menjalani atau menjalankan!
Kata menjalani bermakna bahwa pelaku
mengikuti saja semua prosesi yang sudah direncanakan atau ditentukan oleh pihak
lain. Aktivitasnya pun terjadwal dan terukur. Sebagai analogi, kalimat (1)
terdakwa menjalani hukuman selama 5 tahun penjara, (2) pengantin menjalani
prosesi siraman, dan (2) mahasiswa baru menjalani masa orientasi pengenalan
kampus. Kalimat-kalimat itu tentu saja tidak berterima bila saja verba menjalani diganti dengan kata menjalankan. Yang perlu digarisbawahi, dalam
konteks-konteks itu, subjek tidak beraktivitas aktif, apalagi berinisiatif,
hanya berada dalam arahan.
Kondisi di atas tentu saja berbeda dengan
kalimat ‘selamat menjalakan puasa’. Makna yang muncul dari kata menjalankan ialah keaktifan pelaku.
Dalam kalimat berikut ini tergambar bahwa subjek diposisikan sebaga persona
aktif: (1) Selamat menjalankan bahtera rumah tangga, (2) Ayahlah yang
menjalankan mobil itu, dan (3)
Semua karyawan harus menjalankan tugas masing-masing.
Dalam konteks puasa,
kalimat ‘selamat menjalakan puasa’
merupakan struktur yang berterima. Alasannya tentu saja ibadah puasa harus
diawali dari aktivitas aktif. Tanpa keaktifan, puasa akan dijalankan dengan
keterpaksaan. Umat yang berpuasa berperan aktif untuk mengisi Ramadan, tanpa
pemantaun melekat, apalagi terkungkung dari siapa pun.
Selanjutnya, kata
melewatkan atau melewati. Lagi-lagi dua kata ini bersintagmatik sekaligus
berparadigmatik dengan dua kata sebelumnya. Kata melewati mengesankan
ketidakaktifan, sedangkan kata melewatkan menggambarkan bahwa subjek
beraktivitas mutlak dan dominan.
Satu kata terakhir,
yakni meninggalkan. Sering kali penceramah mengutarakan kalimat ‘Ramadan
sebentar lagi akan meninggalkan kita’. Dalam konteks ini, bulan
dipersonifikasikan sebagai yang hidup, berubah, dan berpindah. Sampai di sini
terlihat bahwa perubahan alam tidak dapat dihentikan. Dari awal umat
menjalankan ibadah puasa, lalu dinasihati untuk tidak melewatkan bulan Ramadan.
Namun, akhirnya Ramadan itu meninggalkan. Tidak dapat ditahan karena yang kuasa
ialah Tuhan. Sebaiknya, kita tidak melewatkan yang akan meninggalkan kita,
yakni Ramadan.